Woks
Dalam sebuah perhelatan diskusi buku "BRI Mocosik 2018" sebelum kemangkatanya, Sapardi Djoko Damono memberikan statement bahwa seharusnya sekolah itu mencetak siswa pembaca bukan penulis, jika misalnya jadi penulis itu kecelakaan dan patut disyukuri. Mengapa membaca kata beliau? karena membaca memiliki arti luas dari sekadar menulis. Jika hanya sekadar menulis sepertinya setiap orang mampu. Tapi lewat bacaanlah pemahaman, analisis, teoritis, serta ragam pengetahuan berkumpul menjadi satu membentuk kualitas isi. Tanpa bacaan dari buku tulisan akan terasa biasa saja. Bacaan juga mempengaruhi isi pikiran.
Mengapa membaca terlebih dahulu? karena Tuhan sendiri yang memaktubkan bahwa firmanya berbunyi, "iqra" bacalah. Membaca di sana tentu memiliki arti teramat luas tidak hanya baca buku atau kitab suci lebih tepatnya adalah kemampuan untuk menelaah, menakar, memahami, memikirkan hingga berpacu dalam perbuatan. Dengan bacaanlah seseorang akan nampak beradab. Setelah itu barulah menulis sebagai sarana untuk menyampaikan dan memberi ruang kepada pembaca agar saling terhubung lewat pikiran yang dititipkan lewat tulisan.
Membaca memang luar biasa. Dalam dunia sufi kita kenal dengan ilmu ahwal atau ilmu keadaan, fenomena, kondisi awal. Dengan ilmu inilah kita diajari untuk membaca fenomena atau keadaan sebelum dan sesudah. Maka dari ilmu ahwal inilah bacaan yang sudah memasuki ruang waktu dan dimensi praksis. Orang sudah tidak berhadapan dengan buku melainkan lewat tingkah laku masyarakat dan alam. Sedikit sekali orang memiliki kemampuan yang memang perlu diasah ini.
Demikianlah membaca ia adalah proses petualangan intelektual yang membawa pembacanya ke mana saja. Jika di tembok Sekolah Dasar (SD) tertulis, "Membaca membuka cakrawala dunia". Membaca akan membawa ke dunia yang ingin diketahui. Banyak tokoh besar Indonesia yang kebesarannya dipupuk lewat tradisi membaca sejak kecil. Bung Karno, Bung Hatta, KH. Agus Salim, Sjahrir, Natsir, Moch Yamin, Wachid Hasyim, serta tokoh lainnya telah dibentuk pemikirannya oleh bacaan. Hasilnya mereka memiliki pikiran yang kritis cemerlang, kepribadian yang ulet dan cekatan, sosial yang menawan serta agama yang mumpuni.
Membaca memang sangat luar biasa walaupun mayoritas orang masih menafikan aktivitas yang satu ini. Jika orang tidak kalah dengan malasnya maka membaca barangkali bisa jadi budaya. Apalagi era saat ini di tengah keberlimpahan e-book kita justru masih terlena dengan hal lain yang lebih fun dan menjanjikan seperti game online. Maka dari fenomena yang ada pekerjaan kita teramat berat karena mengajak orang membaca itu seperti pendakwah yang terus berusaha meyakinkan jamaahnya.
Jika saja pemerintah mau andil lebih dalam lagi berkaitan dengan membaca pastilah bangsa kita akan maju. Bukankah bangsa yang besar itu bukan karena obor penerang di Jakarta kata Bung Hatta melainkan karena lilin-lilin yang bersinar dari setiap desa. Apa yang disampaikan Bung Hatta tentu harapan bahwa membangun negara tidak dari segelintir orang melainkan semua elemen masyarakat salah satunya lewat membaca.
Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani memberikan pesan mendalam bahwa setiap santri harus memiliki senjata wajib yaitu pena dan buku. Pesan beliau bukan berarti santri ke mana-mana hanya membawa pena di sakunya dan buku di tangannya, melainkan kita bisa berguru dengan setiap ilmu yang digelar di lingkungan masyarakat. Ilmu itulah yang dibaca lalu dicatat, dengan cara demikian maka manusia akan menganggap bahwa apa yang ada di masyarakat adalah sebuah ilmu yang penting.
Membaca dan menulis memang sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Maka dari itu membaca adalah fase kenikmatan bukan tuntutan. Tetapi untuk membiasakan membaca perlu dituntut, dipaksa terlebih dahulu sebelum memasuki fase yang lebih luas. Sudahkan kita membaca buku hari ini.
the woks institute l rumah peradaban 3/8/22
Apik banget...
BalasHapusLuar biasa kang....👍👍🙂
BalasHapusSiiiap
BalasHapus