Langsung ke konten utama

Tuna Netra dan Kesempurnaannya




Woks

Rerata masih ada orang ragu bahwa Tuhan tidak adil dalam penciptaan hambanya. Mereka masih beranggapan bahwa janji Tuhan untuk menciptakan kesempurnaan pada hambanya ternyata meleset hal itu dibuktikan dengan adanya orang difabel atau penyandang disabilitas. Padahal statement demikian sungguh salah kaprah dan perlu direvisi ulang. Menurut dr. H. Wigit Dwidjatmoko, S.pB., FInaCS, dalam sebuah acara parenting di Tulungagung mengatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan bentuk sempurna sejak fase awal lalu di dalam kandungan hingga lahir. Jika pun ada bayi dengan kondisi kekurangan justru itu adalah amanah kepada orang tua pilihan. Semoga saja dengan begitu kesabaran dan keikhlasan semakin bertambah. Itu artinya anak tersebut justru sangat sempurna dalam pandanganNya.

Berkaitan dengan itu kemarin saya mendonasikan al Qur'an braile sejumlah 1 set kurang 2 buah kepada TPQLB di bawah naungan Yayasan Spirit Dakwah Serut Boyolangu Tulungagung milik Pak Sinung Restendi yang kini diketuai Pak Ali Imron. Al Qur'an braile tersebut milik Kang Izzul Muttaqin (HKI) yang katanya lebih baik didonasikan daripada tidak terpakai. Akhirnya saya hubungi Mas M. Zakariya, S.Sos alias Bang Jeck selaku pengurus TPQLB tersebut dan alhamdulilah al Qur'an tersebut kami donasikan di sana. Saya tentu sangat senang dan harapannya al Qur'an tersebut dapat bermanfaat.

Al Qur'an braile tentu mengingatkan kita dengan penyandang tunanetra. Al Qur'an yang berisi tulisan timbul seperti kumpulan titik-titik itu tentu sangat bermanfaat bagi mereka yang kekurangan dalam hal penglihatan. Sekilas tentang al Qur'an braile tersebut ternyata dicetak sejak tahun 1952 di bawah Yayasan Penyantun Wyata Guna Padjajaran Bandung. Jika ditaksir harganya 1,5 juta untuk satu set al Qur'an atau 30 juz. Rerata al Qur'an tersebut dicetak dengan kertas berukuran 2 X dari HVS dan ketebalan sekitar 5mm, dengan berat total 1 set yaitu bisa mencapai 25kg. Wyata Guna memang telah berkomitmen sejak lama untuk terus mencetak al Qur'an dengan tujuan amal kepada saudara kita yang tunanetra. Al Qur'an tersebut juga dicetak atas standar dari kementerian agama.

Bicara tunanetra tentu kita mengingat sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau merupakan muadzin kedua setelah Bilal bin Rabah juga termasuk pendekar perang bersama Khalid bin Walid dan Sa'ad bin Abi Waqas. Seorang yang tunanetra akan tetapi memiliki pandangan hati yang tajam. Karena beliaulah Nabi Muhammad SAW mendapat teguran dari Allah dengan diturunkannya surah Abasa.

Selain itu banyak tokoh kita juga yang ternyata luar biasa misalnya sosok KH. Abdurrahman Wahid seorang yang matanya tidak sempurna tapi mata batinnya menembus sanubari. Bahkan Gus Dur yang pernah jadi presiden dan ketua PBNU itu justru lebih melihat daripada orang-orang yang memiliki mata sempurna. Kita juga tau betapa merdunya suara Subro D'Academi, Ardha Tatu anak didik Didi Kempot serta ragam prestasi dari Atlet Asean Paragames. Di tengah keterbatasan itu mereka justru berprestasi. Para penyandang tunanetra ternyata tidak hanya mahir pijat, tapi mereka telah menembus ruang waktu bahkan ada yang menjadi komposer, musisi, perupa, hingga dosen.

Untuk mengapresiasi kemampuan para tunanetra bahkan kita pernah menyaksikan di layar kaca serial film Si Buta dari Goa Hantu. Sebuah film yang mengisahkan betapa heroiknya pendekar buta dengan burung hantu di pundaknya. Walaupun ia sosok yang tak melihat akan tetapi dengan skill dan kerja kerasnya ia menjadi satu dari sekian super hero yang patut diteladani. Bahkan Bang Haji Rhoma Irama dalam lagu "Buta Tuli" memberikan gambaran bahwa al Qur'an menyebut orang yang buta itu bukan karena mata dhohirnya melainkan sebab mata batinnya. Mata yang seharusnya berfungsi melihat serangkaian kebenaran justru malah disalahgunakan dan inilah yang sejatinya buta.

Kedepannya tentu tidak hanya tunanetra melain semua penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk berkarya. Kadang kita secara lebih jauh memang perlu untuk berkaca diri dan harus bersyukur atas segala nikmat. Termasuk nikmat bisa melihat adalah hal yang harus digunakan sebaik mungkin karena hal itu adalah amanah. Jika kita cermati lebih jauh bahwa apa yang tidak kita miliki itu akan ada pada diri orang lain. Memang setiap orang terlahir membawa potensinya tersendiri termasuk para tunanetra. Di tengah keterbatasan justru ada kelebihan.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...