Woks
Saya mendapat cerita dari Abah ketika beliau mengajar di Madin. Di sana kondisinya kian hari makin memprihatinkan. Keprihatinan beliau bukan karena muridnya sedikit melainkan terlalu bising sebab banyak santri yang bicara. Para santri tidak seperti dulu yang mudah diarahkan dan memperhatikan sedangkan saat ini mereka sulit ditata bahkan sering melawan. Kata Abah kadang beliau merasa hilang juga kesabarannya bahkan sesekali saat guyonan beliau berkata, "lek kakean omong mending mati wae" jika banyak bicara mending mati saja. Hingga dalam kondisi yang menyusahkan itu beliau kadang ingin tertawa sendiri.
Terlalu banyak bicara memang membahayakan. Dalam Kitab Wasiyatul Mustofa dijelaskan bahwa tergelincirnya kaki masih aman sedangkan tergelincirnya lisan sangat berbahaya. Kita tentu tahu akibat terpelesetnya lisan karena banyak bicara atau berkata menyakiti bisa menyebabkan persaudaraan retak. Tidak sedikit akibat bicara tak sesuai tempatnya orang bisa menjadi bermusuhan. Nampaknya agama telah memberi rambu-rambu bahwa menjaga lisan juga tak kalah pentingnya dari menjaga harta benda.
Menjaga lisan atau tarkul kalam merupakan sebuah anjuran pada setiap muslim. Karena dalam Islam justru diperintahkan diam daripada banyak bicara yang tidak berfaedah. Jika dulu orang diperintah untuk sedikit biacara maka era saat ini orang harus pintar dalam memanfaatkan media. Karena saat ini penyebab utama orang bergesekan adalah sebab kicauan, status atau postingan tertentu di medsos. Di Indonesia malah unik dengan tingkat literasi rendah tapi paling berisik keempat di medsos setelah Amerika. Seharusnya dalam hal ini kita memang perlu berkata diri sekaligus menjalankan apa yang diistilahkan Gus Nadir, saring sebelum sharing.
Masalahnya saat ini orang-orang lebih terdorong nafsu sesaat tanpa memperdulikan betapa bahayanya bicara tanpa dasar. Orang di medsos itu daya ketersinggungannya tinggi maka dari itu sedikit saja kita berbuat salah ucap, salah posting maka akan fatal akibatnya. Orang pintar berpotensi salah paham lebih lagi yang bodoh dan hanya mengandalkan emosinya. Ada ungkapan sedang orang pintar bersantai dan orang bodoh selalu bersitegang.
Coba kita cek di pintu masuk sekolah biasanya tertulis, "tong kosong nyaring bunyinya". Pepatah populer itu menegaskan sejak lama bahwa orang banyak omongnya biasanya tak berisi alias kaleng-kaleng. Sedangkan orang bijak selalu banyak diam karena mereka tahu kapan saatnya berbicara. Artinya bahwa wali tak perlu menampakkan kewalianya, orang pintar tak perlu memperlihatkan kepintarannya. Jadi kita memang bisa menganalisa tentang perbedaan orang banyak omong atau omongnya banyak.
Orang Jawa sejak lama memberikan gambaran mengenai poso bisu alias puasa untuk tidak bicara. Mereka tahu bicara itu sumbernya masalah dan harus diberi pagar agar tidak melewati batas. Hal yang diwanti-wanti oleh orang Jawa perihal lisan adalah seringnya adu-adu (adu domba), ngrasani (bergunjing), nyeneni (marah), nglarani (menyakiti), ngece (menghina), dan lainya. Hal-hal itulah yang sejatinya harus dipahami bagi mereka yang mau berpikir. Bahwa sebelum berkata berpikirlah agar selamat.
Walaupun lisan mungkin sering bermasalah akan tetapi lewat lisan pula kebenaran bisa terlahir. Lewat tulisan pun demikian, jika di medsos rawan salah paham maka melalui tulisan pulalah kesalahanpahaman bisa diluruskan. Maka dari sinilah kita bisa melihat sisi paradoks dan ambilah bagian yang positifnya. Karena bagaimanapun juga lidah atau tangan (postingan) bisa lebih tajam dari pedang maka berhati-hatilah.
the woks institute l rumah peradaban 25/8/22
Apik....apik....
BalasHapus