Langsung ke konten utama

Review Kitab Miftahus Saroir Karya Syeikh Abu Bakar bin Salim




Woks

Membaca salah satu kitab karangan Syeikh Abu Bakar bin Salim dengan judul "Miftahus Saroir Wa Kanzud Dzakhoir" yang berarti kunci membuka rahasia sangat menarik. Kitab ini walaupun tipis akan tetapi memiliki isi yang berbobot. Betapa tidak, kitab ini ditulis oleh beliau pada usia 17 tahun. Usia muda namun sudah menunjukkan kematangan beliau dalam hal ilmu dan akhlak.

Syeikh Abu Bakar bin Salim Al Alawy Al Husaini lahir di kota Tarim. Beliau merupakan kaket buyut dari ulama besar Yaman saat ini yaitu al Habib Umar bin Salim bin Hafidz bin Syeikh Abu Bakar bin Salim. Kitab Miftahus Saroir tersebut diterjemahkan oleh cucu beliau yaitu Al Habib Abdullah bin Ahmad bin Abdullah Al Hadar bin Imam Husein bin Fahri bin Abu Bakar bin Salim.

Kitab tersebut berisi 7 bab pembahasan yang terdiri atas: sifatnya dunia, tentang ubudiyah, sifatnya hati, mengikuti kitab dan sunnah, qiyamullail, permasalahan rezeki. Kitab ini pada bab awal menjelaskan bahwa cinta dunia jadi sumber penyakit. Dalam terjemahnya Habib Ubaidillah menjelaskan bahwa dunia itu cukup di tangan saja dan jangan sampai masuk ke hati. Karena itu dunia hina tersebut dimiliki secukupnya saja tidak usah berlebihan. Dunia itu ibarat terbuat dari emas akan tetapi hancur dan akhirat dari tanah tapi abadi. Maka dari itu mau pilih yang mana. Jadikan dunia sebagai sarana ibadah bukan sebagai tujuan utama. Ibadah untuk menuju kepada Allah salah satunya lewat mengaji. Lantas jika ditanya di mana Allah dalam kitab disebutkan bahwa kita bisa menemukan engkau (Allah) yaitu ada di dalam hati orang yang dekat denganNya.

Sudah menjadi tabiat bahwa ruh itu suci. Kesucianya selalu menuju kepada kerinduan pada Allah. Maka dari itu kerinduan kepada Allah adalah anugerah. Jangan sampai kesucian ruh tersebut kita halangi dengan ragam kemaksiatan. Oleh karena itu kita harus berusaha untuk menghilangkan penghalang kerinduan ruh kepada Allah melalui sholawat, dzikir, baca Qur'an dan lainya.

Hati manusia bagaikan rumah maka di bangunlah rumah itu dengan baik. Ibarat rumah hati dzikir adalah cara agar rumah tetap hidup. Jangan biarkan rumah itu kosong dan justru seakan-akan merusak isinya. Selain dzikir perbaiki rumah hati itu dengan mengisinya salah satunya lewat menyaksikan keagungan Allah. Salah satu keistimewaan Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah beliau selalu bertemu Allah, "Demi Allah dengan tanpa paksaan aku tidak menyaksikan dengan mataku selain Allah. Tidak berlaku sesuatu kecuali karena kekuasaan Allah". Maka dari itu di hati manusia harus ada keyakinan dalam keadaan apapun bahwa semua adalah takdir Allah baik yang manis maupun kepahitan. Maka tidak salah jika kalangan Arifin menyebutkan bahwa semua adalah pemberian Allah dan harus disyukuri.

Di akhir zaman ini mari kita mengikuti kitab dan sunnah. Jangan merasa hanya hidup di jalan tasawuf tanpa dasar ilmu. Misalnya bahaya jika ibadah hanya berdasar ilmu hakikat dal hal itu bertentangan seperti puasa setahun tanpa putus atau tidak menikah. Padahal Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam itu sering puasa juga sering tidak dan bahkan beliau menikah. Jangan dikira bahwa menikah itu juga merupakan ibadah.

Dalam kitab tersebut juga memberi rambu-rambu kepada kita agar jangan sibuk dengan rezeki sebab rezeki lebih tua usianya dari kita. Pesan dalam kitab tersebut bahwa apa yang bukan untuk selain mu tak akan sampai dan kata Habib Abdullah al Hadad bahwa rezeki itu tak pernah salah alamat seberapapun kita mencarinya. Maka dari itu yakinlah bahkan burung dan binatang melata pun sudah dijamin rezekinya. Tinggal kini kita mau mendekat kepada sang pemilik rezeki itu atau tidak.

the woks institute l rumah peradaban 24/8/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...