Woks
Kematian barangkali fenomena yang unik selain masalah keberuntungan, apes, rezeki dan jodoh. Tidak semua orang memahami arti fenomena yang satu ini: mati. Jelas-jelas orang penuh perbedaan akan tetapi bisa berjodoh. Jelas-jelas orang sudah berhati-hati akan tetapi bisa kecelakaan. Jelas-jelas tidak sakit akan tetapi orang bisa meninggal serta banyak lagi kisah yang menurut kita irasional. Akan tetapi segala fenomena apapun bagi Allah SWT bukanlah hal yang mustahil. Semua sangat mudah dan memang Allah SWT sang maha kuasa.
Fenomena kematian bagi orang awam barangkali menjadi hal yang aneh sekaligus mencengangkan. Bagi kalangan medis kematian adalah ketidakberfungsianya organ pada tubuh, seperti jantung berhenti, nafas tersengal hingga syaraf terputus. Akan tetapi bagi orang alim kematian adalah pintu gerbang menuju kepada sang khaliq. Yang jelas mati itu tidak dimonopoli dengan sakit terlebih dahulu atau usia tua tapi justru bisa terbalik dari apa yang dipikirkan manusia.
Sejauh ini yang menolak mati belum ada. Yang ada hanya menambah tenggang waktu untuk mati tidak lebih cepat. Kisah Nabi Ya'kub yang menambah usia 40 tahun sebelum kematiannya dan kisah Nabi Ibrahim yang menolak diajak pulang oleh kekasihnya Allah SWT serta para auliya lainnya. Maka dari itu mati tidak hanya orang tua, gagah atau perkasa, para nabi pun akan mengalaminya.
Fenomena kematian memang tidak bisa diprediksi. Bisa saja cepat atau lambat, atau bahkan tanpa tanda-tanda apapun. Kita tahu Jalaluddin Rakhmat alias Kang Jalal menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah istrinya Nyai Euis mangkat terlebih dahulu. Di Bojonegoro Hj. Ummi Munawaroh meninggal dan selang 2 jam suaminya H. Fathkan Sibyan menyusul. Di Makassar kisah Nyai Sitti Saiah Haruna meninggal lalu menyusul suaminya KH. Idrus Makawaru. Terbaru yaitu Pengasuh PP. Riyadul Jannah Pacet Mojokerto Hj. Faicha meninggal dunia lalu disusul esok harinya giliran suami beliau Abuya KH. Mahfud Syaubari, MA.
Kisah-kisah kematian tersebut tentu sangat mengagetkan. Maka dari itu bersiaplah karena kapan saja fenomena tersebut akan datang pada kita. Kata Buya Syafi'i Ma'arif soal kematian kita hanya sedang menunggu giliran. Yang terpenting dari fenomena itu semua adalah soal menyikapinya. Dalam hadits dijelaskan bahwa saat ada sanak famili meninggal maka bersikaplah yang bijak dan biasa saja. Karena ada orang yang jenazahnya dilaknat oleh Allah sebab keluarga meratapinya bahkan sampai menangis meraung-raung tak sadarkan diri.
Kita ingat ketika Syarifah Fatimah az Zahro putri Habib Umar bin Hafidz meninggalkan karena tenggelam, beliau tetap tenang walaupun wajah tak bisa membohongi betapa sedihnya seorang ayah ditinggal putri tercinta. Akan tetapi sebagai alim allamah beliau menyadari bahwa semua sudah dalam garis takdir Allah. Habib Umar masih menyempatkan untuk mengajar ngaji dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Abuya KH. Mahfud Syaubari pun tak jauh berbeda, beliau tetap mengistiqomahkan ngaji ihya ba'da shubuh tepat di depan keranda jenazah istrinya. Karena beliau tahu bahwa anak atau istri semua hanyalah titipan. Lalu selang satu hari ternyata beliau juga dipanggil oleh Allah menyusul istrinya.
Dari kalangan pejabat pun tak kalah inspiratif yaitu kisah Kang Emil dan keluarga. Ketika beliau tahu bahwa anaknya Emeril Kahn Mumtadz (Eril) meninggal karena tenggelam, Kang Emil tetap tenang dan semua berpasrah pada Allah SWT. Demikianlah kisah betapa orang alim itu akan menunjukkan sikapnya yang arif, bijaksana dan tentunya ksatria. Betapapun fenomena kematian itu akan menyisakan tangis dan duka, akan tetapi kita belajar tentang kerelaan, keikhlasan, ketabahan dan keridhaan. Jika semua hal itu dilewati pastinya kita adalah hamba yang istimewa di mata Tuhan.
the woks institute l rumah peradaban 18/8/22
Komentar
Posting Komentar