Langsung ke konten utama

Bersembunyi di Balik Topeng Oknum, Setan dan Khilaf





Woks

Setiap peristiwa terutama berkaitan dengan crime kita selalu bertanya siapa pelakunya. Media dari berbagai penjuru meliput untuk mencari who? Akan tetapi dalam masa pencarian itu "siapa" tak pernah ditemukan kecuali pertanyaan lain seperti mengapa dan bagaimana.

Dalam tindak kriminal pencarian identitas korban memang sangat penting lebih penting lagi adalah pelaku. Akan tetapi sudah jamak kita selalu mendengar ada istilah "oknum" yang selalu dilanggengkan dalam setiap kejadian. Istilah oknum memang sangat populer hingga saat ini padahal menurut beberapa redaksi mengatakan bahwa istilah oknum dipakai sejak tragedi 65, 98 hingga kini. Istilah itu sengaja diciptakan oleh Orde Baru dalam rangka menutup rapat-rapat darah perkara.

Di era kekinian oknum menjadi lema yang digandrungi ketika tindak pidana khusus berkaitan dengan institusi. Supaya dunia kabur dengan fakta yang ada akhirnya oknum tercipta bagai hantu yang menjadi sasaran. Oknum lahir sebagai alibi sekaligus pengaburan sejarah. Demikianlah oknum sebuah frasa untuk mengacaukan atau memperhalus bahasa (eufemisme) serta mengkaburkan bukti bahwa pelaku selalu bersembunyi di balik gentong. Kata oknum menjadi tampak halus yang padahal aslinya justru mengandung zat kemunafikan. Oknum lebih laris manis ketika kini setiap orang menggunakannya dalam rangka "Lempar batu sembunyi tangan".

Siapa pula yang ingin disalahkan padahal faktanya sudah jelas-jelas bersalah. Hidup kadang begini penuh dengan ketidakjelasan padahal rumusnya sangat jelas. Jelas-jelas tidak ingin menjadi tersangka pada intinya. Maka dari itu untuk mengamankan posisi oknum diciptakan atau dalam kasus lain misalnya pembunuhan orang cukup mengatakan "saya khilaf". Dengan politisasi bahasa seperti itu akhirnya problem melunak dan akhirnya dunia mengalami sudut pandang yang berubah drastis. Normatifitas menjadi bisa dibeli dengan murah demi seseorang mengatakan politik bahasa tersebut.

Bahkan dalam konteks sempit ketika individu salah dengan mudahnya salahkan saja "setan". Semua yang bersifat negatif dan berahi adalah karena setan padahal akal rasio manusia diberikan Tuhan bukan untuk ngeles melainkan pengakuan. Sejak dulu mengakui memang problem yang kompleks. Paman Rasulullah, Abu Jahal dan Abu Lahab sebenarnya mengakui bahwa keponakan alias putra Abdullah itu adalah seorang nabi pembawa risalah suci. Akan tetapi karena gengsi dengan kedudukan mereka sebagai sesepuh Quraish maka Abu Jahal dan Abu Lahab menjadi sulit mengakui kebenaran Nabi Muhammad SAW. 

Hal itu juga terjadi pada Ramses IV alias Raja Fir'aun di zaman Nabi Musa Alaihissalam. Fir'aun sebenarnya mengakui ketika di tengah laut Merah bahwa Tuhan Musa-lah sebenar-benarnya Tuhan yang laik disembah. Akan tetapi karena gengsi dan ucapannya yang besar maka ia tidak segera mengakui kebenaran risalah Nabi Musa. Dari beberapa kasus di Indonesia pun demikian sangat sulit untuk mengakui "saya salah". Selalu berbelit-belit seperti belut barulah setelah itu di akhir menjadi kesimpulan atau justru tanda tanya yang sulit diurai. Sudah ada berapa contoh kasus yang selalu bertele-tele di persidangan misalnya kasus Mirna Sianida, kasus pembunuhan Dirut PT. Putra Rajawali Banjaran Zulkarnain dan yang terbaru kasus Sambo vs Brigadir J.

Kasus-kasus besar di negeri ini misalnya juga tak akan pernah selesai. Salah satunya karena kompleksitasnya dalam menjaga kerahasian. Lebih jauh lagi dalam jagat lakon pewayangan juga sudah dijelaskan bahwa tidak ada orang yang mengakui dirinya salah. Dalam bahasa populer tidak ada maling mengakui jika dirinya maling maka jika iya pun penjara akan penuh.

Di Indonesia memang kadang berlaku dunia terbalik. Jika pelaku salah maka yang disalahkan adalah oknum. Atau dalam alur individu saya khilaf dan semua karena godaan setan. Dalam kasus korban justru di Indonesia malah berlaku victim blaming atau cenderung menyalahkan korban. Kita selamanya belum akan dewasa jika masih sibuk menyalahkan bukan malah mengakui kesalahan. Padahal mengakui kesalahan adalah bagian dari sikap kesatrian. Di sinilah kadang nilai demokrasi dan kejujuran kita terinjak-injak lebih lagi bagi mereka yang bertaruh di sebuah birokrasi, posisi dan jabatan. Lantas di manakah kejujuran berada?

the woks institute l rumah peradaban 23/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...