Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis 9 Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Di malam Jum'at nan syahdu hampir saja hujan membuyarkan acara terakhir dimentoring menulis. Saya sendiri hampir saja tidak datang karena hujan begitu deras. Akhirnya dengan berbekal nekad dan bermodal jas mantel saya pun melaju menembus rintiknya hujan. Sayang ketika sudah sampai pondok ada insiden kecil yaitu tertinggalnya kopiah yang saya biasa pakai. Ternyata benar dugaan saya kopiah itu terjatuh tercebur air ketika masih di pondok PPHS.

Singkatnya acara pun dimulai dan alhamdulilah semua mentor bisa berkumpul. Tapi pemandangan kurang indah ketika sampai hari terakhir peserta putra belum juga terlihat. Akan tetapi kabar bahagianya beberapa peserta putri banyak yang telah menyelesaikan tulisannya. Dengan begitu mereka melaju ke tahap selanjutnya yaitu mengirimkan tulisan ke media yang dituju.

Media-media tersebut kami pilihkan sesuai dengan genre keisilaman yaitu beberapa yang populer seperti Alif id, Rahma id, Iqra id, Hidayatuna, Ar Rahim id, Mubadalah, Jaringan Santri, Pesantren id, Islami co, Basabasi co, hingga Voxpop. Semua media menulis tersebut tak lain sebagai wadah agar penulis berproses lebih. Tak usah khawatir tulisan kita tidak diterbitkan yang khawatir itu tak pernah mencoba menulis seumur hidup. Rasanya rugi bahwa di tengah keberlimpahan ilmu ini kita selaiknya memang harus menuliskannya.

Di malam yang terasa dingin itu saya mencoba membacakan salah satu bait puisi yang dimuat di Basabasi co. Melalui puisi itu setidaknya saya mencoba menghibur diri sekaligus mencontohkan bagaimana melatih percaya diri bicara di depan umum. Setelah itu saya pun mengoreksi kembali terkait tulisan para peserta. Rerata di sesi akhir ini peserta belum mampu mendeteksi genre tulisan mereka sendiri. Selain itu rubrik yang dituju juga masih memerlukan pemikiran lanjutan buat mereka. Satu hal lagi yang menjadi problem adalah bagaimana membuat kesimpulan. Para peserta mengira bahwa kesimpulan adalah sekumpulan kata yang sekadar penutup. Nyatanya tidak demikian.

Penutup pada tulisan sebenarnya merupakan relasi dari judul dan intisari isi tulisan. Penutupan atau kesimpulan bisa menjadi menarik ketika berisi refleksi, gagasan utuh, pertanyaan kritis, hingga kesimpulan yang bersifat kontra. Akan tetapi kuncinya selama tulisan tersebut memiliki data yang kuat ketidaksetujuan adalah hal yang biasa. Data adalah salah satu cara agar tulisan bisa kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Terakhir seperti harapan sebelumnya di sesi penutup ini kita menginginkan agar tradisi menulis bisa diteruskan bukan hanya di majelis klinik. Akan tetapi bisa menjadi modal untuk para santri lebih mengembangkan dan terus mengasah keterampilan tersebut. Seperti kita ketahui bahwa tidak ada orang yang lahir dalam keadaan mahir. Maka dari itu sering berlatih menulis dan perbanyak membaca adalah kunci. Prof Ngainun Naim mengistilahkan perjuangan orang menulis dengan, "Sopo sing tekun bakal tekan najan to gae teken, orang yang rajin akan sampai walaupun sampai dipapah tongkat". Selamat berproses.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...