Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis 7 Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Mentoring menulis kali ini memasuki hari ke-7. Seminggu sudah berlalu kita berproses bersama dalam menghasilkan tulisan. Dengan dibonceng Mas Jikon saya masih semangat untuk hadir majelis ilmu tersebut. Tapi sayang hari itu tanpa kehadiran Mas Aziz dan kemarin tanpa Mas Wahyu. Akan tetapi tak membuat sedikit pun kami goyah dan para peserta masih setia dengan laptop, kertas dan alat tulisnya.

Sampai di hari ke-7 tersebut saya tergolong merasa senang. Karena beberapa peserta sudah menunjukkan progres tulisannya. Walaupun di beberapa peserta lain masih berjuang dan berganti arah. Yang jelas malam itu ada beberapa peserta sebenarnya termasuk sudah mampu menulis. Tinggal bagaimana terus mengasah dan berlatih terutama berkaitan dengan tanda baca, diksi, frasa dan keilmuannya atau aspek teorinya.

Malam itu ada beberapa poin yang mungkin bisa mendapatkan catatan khususnya bagi peserta. Pertama, menulis itu sebenarnya hanya menguraikan judul. Maka dari itu judul seharusnya yang menarik minat pembaca. Jangan lupa judul juga harus disangkutpautkan dengan isi tulisan lebih lagi corak opini yang menjadi misi utama mengapa penulis menuliskannya.

Kedua, perhatikan tanda baca. Kadang persoalan tanda baca adalah hal kecil yang mudah luput alias tak terlihat. Walaupun nampak sepele tanda baca akan selalu berkaitan dengan selera pembaca. Maka dari itu soal tanda baca bisa saja dalam perspektif psikologi menandakan karakter penulisnya. Ketiga, seringlah membaca buku, diskusi dan berwacana. Dengan cara itu sesungguhnya kita tengah mengajak atau mengundang kata-kata lain untuk hadir dalam pikiran, perkataan dan tulisan. Semakin banyak bacaan maka semakin banyak pula perbendaharaan kata dan siap untuk menuliskannya.

Keempat, mengapa kita kesulitan menulis daripada bicara? Karena antara otak dan lisan lebih dekat jaraknya ketimbang otak dengan tangan. Hal itu sebenarnya bisa disiasati bahwa hal ini bukan soal jauh dekat melainkan perkara minat. Jika seseorang tidak minat dengan dunia tulis menulis dengan cara paksaan apapun tak akan tergugah. Menulis itu juga persoalan hidayah. Kapan saat kita memutuskan untuk menulis saat itulah hidayah yang bermain. Cuma masalahnya apakah kita menunggu atau menjemput hidayah?

Kelima, persoalan mentalitas sebenarnya yang paling menentukan dalam hal menulis. Jadi jika seseorang mau terus mencoba dan berlatih tanpa takut salah maka hal itu sudah baik. Mentradisikan menulis berarti ada upaya serius untuk terjun di dunia kesunyian. Menulis memang salah satu tradisi intelektual yang tidak setiap orang mau menggelutinya. Saking pentingnya dunia tulis menulis sampai-sampai Prof Ngainun Naim mengistilahkan dengan "mahluk langka". Istilah itu tak lain karena memang penulis adalah satu dari sekian aktivitas yang jarang diminati alasannya sederhana yaitu; karena buang-buang waktu, tak memiliki tujuan, proses berpikir dan takut salah. Dengan demikian maka kita berpikir ulang maukah menjadi penulis atau masihkah kita setia dengan tradisi menulis? jawaban ada pada diri sendiri.

the woks institute l rumah peradaban 23/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...