Langsung ke konten utama

R20 NU dalam Narasi Anime Naruto




Woks

Perhelatan akbar R20 NU di Bali sejak 2-3 November 2022 banyak menyita jutaan pasang mata. Para pemuka agama dunia sekitar 50 orang lebih turut ambil bagian dalam event akbar itu. NU sebagai organisasi masyarakat terbesar di dunia memang mencuri momentum sebelum pemimpin dunia berkumpul di Bali (G20).

Mereka berkumpul untuk mengikuti serangkaian agenda dan membicarakan tema-tema yang sudah disiapkan panitia di antaranya; Kepedihan Sejarah, Pengungkapan Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Pengampunan, Mengidentifikasi dan Merangkul Nilai-nilai Mulia yang Bersumber dari Agama dan Peradaban Besar Dunia, Rekontekstualisasi Ajaran Agama yang Usang dan Bermasalah, Mengidentifikasi Nilai-nilai yang Dibutuhkan untuk Mengembangkan dan Menjamin Koeksistensi Damai, dan Ekologi Spiritual. Tema terakhir itulah yang tentunya sangat menarik. Karena selama ini orang beragama terasa hampa dan kehilangan energi spiritualnya.




Melihat gerak langkah NU yang strategis kita membayangkan organisasi para ulama ini seperti sebuah serial kartun Naruto. Mereka berkumpul dalam sebuah wadah di Desa Konoha. Di mana para ninja baik dari semua level; hokage, shanin, chunin, anbu, dan ghenin berkumpul. Mereka berpikir jauh mengenai tatanan dunia baru yaitu melahirkan kesepakatan untuk komitmen pada perdamaian dunia. Mereka tidak ingin para pengkhianat muncul atau para pengganggu seperti Orochimaru, Itachi, Akatsuki dkk, Pain dkk, hingga Madara merusak tatanan.

Seharusnya mereka yang tidak memiliki visi kebangsaan belajar pada Naruto. Tokoh utama dalam serial itu memiliki keinginan utama persatuan dan perdamaian. Walaupun visi misi utama itu banyak dipertentangkan oleh orang lain tapi Naruto tetap berpegang teguh pada idealismenya. Ia telah mendapatkan mandat dari para sesepuh, guru dan teman-teman bahwa perdamaian bisa digapai asal ada kesadaran kolektif untuk mencapainya.

Niat baik Naruto mungkin tidak selalu mulus. Ada saja aral melintang termasuk pertentangan bahwa perdamaian bisa digapai hanya dengan penguasaan kapital atau bahkan peperangan. Sehingga visi tersebut memerlukan kerja ekstra dalam meyakinkan setiap orang. Di sinilah langkah NU juga menuju hal yang lebih luas. NU dengan beberapa komponen di Indonesia ingin mempertegas bahwa agama bisa menjadi solusi atas segala problematika dunia.

NU sudah berpikir jauh melampaui zamannya. Walaupun sampai hari ini NU masih terkena stigma sebagai organisasi tradisional. Melalui fikih peradaban NU mengajak pemuka agama untuk memikirkan nasib dunia ke depannya. Gus Yahya sebagai ketua umum NU menegaskan bahwa ulama tidak boleh diam. Mereka memiliki tanggung jawab besar untuk berkontribusi dalam memecahkan masalah umat. Jangan sampai ulama terjebak pada sekularisasi yang berakibat makin runtuhnya peran publik agama. Menurut M. Qasim Zaman di tengah perubahan ulama harus menjawab tantangan yang datang dengan cara memperkuat pengaruh, memperluas audiens, memberikan sumbangan pada wacana publik dan bahkan menentukan wacana tersebut. Gus Yahya yang memiliki visi besar Gus Dur yakin bahwa dengan forum semacam ini dunia tergerak untuk melakukan hal terbaik minimal bagi bangsanya sendiri.




Harapannya dengan R20 ini umat beragama khususnya para pemuka agama bisa segera sadar akan arti pentingnya berjejaring dan bekerjasama. Forum umat beragama juga sekaligus menganulir tesis Samuel Huntington tentang pertentangan kelas, tentang agama sebagai sumber bencana dll. Agama justru bisa menjadi inspirasi untuk melahirkan budaya baru yang lebih beradab, humanis dan toleran. Terutama dalam Islam telah jelas memiliki visi besar yang ditancapkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW yaitu menjadi rahmat bagi alam semesta.

the woks institute l rumah peradaban 5/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...