Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Alhamdulillah hari kemarin saya berkesempatan ngangsu kawruh bersama santri Pesantren Subulussalam Tulungagung. Acara kali ini adalah sharing kepenulisan yang targetnya adalah tembus web nasional. Kali ini saya tidak sendiri akan tetapi ditemani narasumber lainya yaitu Mas Thariqul Aziz dan Mas Wahyu Ihsan. Mereka berdua adalah para pegiat literasi yang expert di bidangnya.

Dalam sambutannya Abah Zainal sangat senang dan menyambut baik acara berkaitan dengan pengembangan diri salah satunya menulis. Kata beliau rerata orang sukses adalah penulis dan jangan sampai menyesal menjadi penulis. Hidup itu harus sabar dan mensyukuri nikmat yang besar ini. Yang penting dalam menulis itu harus santai, hebat dan produktif. Bunda Salamah juga menambahkan jika ingin expert maka seringlah berlatih istilahnya experience dan expert.

Acara yang bertajuk "Klinik Menulis Santri" itu dipandu oleh Ustadz Ahmad Saddad dan dimulai dengan penampilan Mas Aziz. Dalam pemaparannya Mas Aziz menekankan bahwa nenek moyang kita adalah seorang penulis. Banyak di kalangan mufasir kita seperti Mbah Bisri Al Ibriz, Mbah Misbah Al Iqlil, telah menuliskan khazanah tafsirnya. Bahkan karena tulisan mereka kita bisa memiliki pemahaman hingga hari ini. Lalu acarapun dilanjutkan dengan Mas Wahyu. Dalam pemaparannya Mas Wahyu menjelaskan bahwa menulis itu sangat penting. Banyak di kalangan tokoh di dunia Barat Timur dikenang karena tulisannya. Sekalipun mereka telah meninggal dunia tapi lewat karyanya selalu dikenang hingga kini. Menulislah dan mengabadi.

Tiba giliran saya untuk memaparkan secuil pengalaman mengenai menulis. Saya mengatakan dua hal yaitu; mengapa menulis? dan apa yang ditulis? Dua hal itu penting sebab hari ini para santri belum tersadar bahwa menulis itu adalah senjata utama untuk mengikat ilmu. Pondok pesantren Darun Nun asuhan Kiai Halimi Zuhdi dan alm Kiai Zainal Arifin Thaha telah membuktikan bahwa lewat menulis ilmu bisa lebih berkembang.

Saya mengatakan bahwa jika guru kita menulis maka kami pun sebagai santrinya harus mengikuti jejaknya. Tapi sebelum menulis jangan lupa untuk rajin membaca. Menulis tanpa hasil bacaan akan kosong belaka. Maka saya menekankan bahwa output santri selama di pondok sebenarnya bukan menjadi penulis melainkan pembaca. Karena membaca itu bisa bermakna luas tidak sekadar buku tapi masyarakat. Salah satu hal penting lagi adalah menjadi santri "pencatat". Mencatat itu tidak akan dibatasi dengan apapun. Selama ada hal menarik dan bersifat ilmu mencatat sangat perlu. Jadi jangan sampai lepas pulang dari sebuah majelis kita tidak meninggalkan apa-apa. Sesungguhnya sebaik-baik peninggalan adalah "catatan".

Apa yang ditulis? sebenarnya kita bisa menulis banyak hal. Apalagi di pondok pesantren semua ilmu ada di sana. Tinggal kita mau rajin atau tidak. Maka ada rumus bahwa orang pintar akan kalah oleh orang rajin. Di pesantren tidak hanya kitab, petuah guru, tradisi, amaliah, dan aktivitas semua bisa ditulis. Saya juga tak mau kalah bahwa tujuan menulis yaitu untuk memperkenalkan pesantren kepada khalayak. Saya juga ingin menjadi penerus bagi para penulis yang telah wafat. Maka mari menulis lah sekarang juga.

Sebelum mengakhiri pembicaraan saya pun melantunkan sebuah syair yang tujuan untuk memberi semangat. Syair tersebut adalah :

صَـلا َØ©ُ اللهِ سَـلا َÙ…ُ اللهِ # عَـلَÙ‰ طـهَ رَسُـوْÙ„ِ اللهِ

صَـلا َØ©ُ اللهِ سَـلا َÙ…ُ اللهِ # عَـلَÙ‰ يـس Ø­َبِÙŠْـبِ اللهِ

Ayo santri podo moco, moco buku moco al Quran
Adewe urip ning akhir zaman, jogo ati, badan, pikiran
Ayo santri belajar nulis, senajan setitik sing penting nulis
Poro guru yo podo nulis, ilmune Allah ra bakal habis
Ayo santri sing sregep sinau, petuah guru digugu ditiru
Kitab kuning dimuthola'ah, kitab putihe dikaji ilmiah
Ayo santri rajin ibadah, kanggo sangu dino qiyamah
Hurmat ustadz hurmat guru, berkah Abah Zainal Bunda Salamah
Ayo santri seneng diskusi, ngaji diri jo nganti lali
Dawuh nabi silaturrahmi, ayo ngaji sampe mati

the woks institute l rumah peradaban 16/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...