Langsung ke konten utama

Mentoring Menulis 5 Bersama Santri Subulussalam Tulungagung




Woks

Malam itu udara begitu dingin. Jalanan becek dan suasana nampak gelap. Mendung memang masih menyelimuti dan kita memaksa diri untuk tetap belajar. Kali ini mentoring menulis sudah berjalan 5 hari itu artinya tinggal beberapa hari lagi kita akan penutupan.

Seperti biasa Mas Aziz dan Mas Wahyu sudah tiba lebih dulu. Ditemani 2 piring berisi gorengan dan air mineral acara pun segera dimulai. Saya bertugas membuka acara seraya berpesan bahwa hari itu tak ada teori. Semua peserta akan diarahkan untuk langsung praktek. Karena memang bagi pemula seharusnya lebih banyak praktek bukan teori.

Saya pun langsung memasuki ke halaqah masing-masing peserta. Walaupun hanya beberapa peserta saja setidaknya kami masih setia. Ternyata peserta semakin surut karena malam itu berbarengan acara dengan di Gor Lembu Peteng yaitu Sinau Bareng Mbah Nun & Kiai Kanjeng. Jadi beberapa santri memilih ke sana karena memang animonya lebih besar.

Saya lalu mengoreksi satu persatu tugas santri yang ternyata masih sangat jauh dari target. Tapi apa mau dikata kita hanya tetap optimistis bahwa ini hanya bagian dari proses. Rerata peserta masih kebingungan bagaimana membuat judul, pendahuluan dan mengembangkan paragraf. Salah satu faktornya adalah minimnya bacaan. Sehingga mereka kesulitan dalam menentukan setiap frasa dan dikti dalam kalimatnya. Saya tentu menyadari betapa sulitnya menulis ketimbang bicara.

Menulis bagi pemula memang terasa menyiksa dan tidak bisa dipaksa. Akan tetapi dalam pembelajaran menulis merupakan keharusan karena hampir di setiap tugas kuliah semua berkait dengan tugas menulis bahwa laporan akhir kuliah juga output tulisan. Sebenarnya jika kita mau gigih belajar menulis itu mudah. Misalnya perbanyak bacaan minial satu minggu setelah itu catat poin penting lalu kembangkan intisarinya. Atau lihat tulisan orang ambil idenya dan kembangkan dengan versi kita sendiri. Atau duplikat tulisan yang ada lalu parafrasekan kalimat demi kalimatnya yang tentunya terasa bahasa kita sendiri.

Ada lagi, misalnya kita memahami sebuah teori atau isi bacaan dan informasi setelah itu komentari dengan tulisan. Pasti dengan begitu kita akan terbantu untuk mengembangkan setiap kalimatnya. Dari cara-cara sederhana itulah sebenarnya sangat mudah untuk menulis. Kata Abah Zainal tidak ada orang kecewa karena bisa menulis. Maka dari itu kebodohan bukan mereka yang tak tau apa-apa melainkan yang tak mau belajar. Mari belajar mengikis kebodohan. Kata Mbah Nun jangan percaya dengan banyaknya penaklukan pada orang lain justru yang paling sulit itu menaklukkan diri sendiri.

the woks institute l rumah peradaban 21/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...