Langsung ke konten utama

Coffling Sebagai Pesona Wisata Dadakan




Woks

Sore itu secara tidak sengaja aku mampir ke coffling. Sebenarnya sudah lama aku kenal istilah itu. Cuma belum sempat saja mampir karena tak ada momentum yang pas. Tepat sore kemarin di awal bulan November aku mampir ke coffling si Pitung. Kebetulan dia adalah teman ku di pondok yang jualan di sekitar persawahan desa Karangrejo Boyolangu.

Coffling adalah akronim dari "Coffee Keliling". Pertama kali aku dengar istilah tersebut dari seorang teman yang katanya sudah viral dari Tiktok. Dan kedua aku membaca bahwa ada di salah satu daerah di Jakarta yang mayoritas penduduknya menjadi pedagang kopi keliling. Mereka menjajakan kopi dengan sepeda dan motor seadanya menyisir setiap gang dan trotoar bahkan sampai ke daerah bantaran sungai.




Dulu saat aku berjalan di sekitar persawahan tersebut para coffling hanya beberapa orang saja. Tapi hingga tulisan ini dibuat para peng-coffling sudah lebih dari 4 orang. Mereka memanfaatkan jalanan yang sudah dicor di areal persawahan. Konsumen mereka tentu anak-anak muda motor yang gandrung akan senja. Anak layangan instagrameble yang selalu jalan-jalan sore juga bagian dari mereka. Entah apakah hanya kopi yang dicari ternyata tidak. Aku melihat sekilas persoalan cuci mata memang menjadi hal utama. Baik cuci mata soal lawan jenis maupun pemandangan persawahan hijau dan gunung menjulang. Semua menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi ngopi tersebut. Termasuk transisi senja antara sore dan petang.

Aku membayangkan tradisi ngopi sampai sekreatif itu, sejak kapan terjadi. Ketika mengingat itu aku tertuju pada sebuah artikel Muhammad Adji dan Lina Meilinawati tentang tradisi ngopi dan sastra. Mereka mengupas sebuah cerpen karya Dee Lestari yang berjudul "Filosofi Kopi". Sangat jarang ada karya sastra yang menyuguhkan kopi menjadi subjek utamanya selain kisah asmara atau drama kehidupan. Tradisi ngopi ternyata sudah ada sekitar 300 tahun lalu yang dibawa oleh kaum kolonial. Karena kopi sebenarnya bukan komoditas asli Indonesia dan masyarakat hanya tau cara menyajikannya. Kopi tubruk dianggap sebagai cara menyeduh kopi paling tua dan sederhana di Indonesia.




Dalam catatan itu ngopi dibagi menjadi dua yaitu tradisi ngopi dan bagian dari gaya hidup. Bagi masyarakat urban ngopi adalah hal yang penting dan bagian gaya hidup. Hal itu dibuktikan dengan ragam cara menyuguhkan kopi termasuk bermunculan cafe elit di sekitar kita. Berbeda dengan masyarakat rural, kopi hanya sekadar tradisi minum biasa. Mereka hanya menjadikan kopi sebagai hidangan kerja, tiap pagi dan sore hari. Kopi menjadi sajian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Pahit memang rasanya tapi mampu menghilangkan penat untuk sesaat.

Melihat coffling yang nyeni itu aku jadi berpikir akan potensinya. Sebenarnya jika dimanajemen secara rapih coffling bisa menjadi lahan rezeki baru. Tinggal bagaimana sajian dan ruang terbuka harus menjadi prioritas. Karena dua hal itu menjadi sarana utama para tukang ngopi menikmati suasana. Waktu sangat singkat itu bisa menjadi hal yang menjanjikan dan bisa melahirkan kreativitas.

the woks institute l rumah peradaban 5/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...