Langsung ke konten utama

Catatan Tadarus Shubuh bersama Kiai Faqih Abdul Qadir





Woks

Di hari Minggu pagi tepatnya 5 hari sebelum peringatan hari guru saya mendapatkan kesempatan sekaligus pembelajaran yang berharga. Di hari Minggu itu saya menjadi tuan rumah ngaji virtual bertajuk Tadarus Shubuh. Acara ini diselenggarakan oleh Mubadalah id yang diampu oleh KH. Faqihuddin Abdul Qadir. Beliau tak lain founder Media Mubadalah id, dosen IAIN Syeikh Nurjati Cirebon, ISIF dan Dewan Musyawarah KUPI sekaligus penulis buku "Perempuan Bukan Sumber Fitnah" dan buku terbarunya "Perempuan Bukan Mahluk Domestik".

Acara Tadarus Shubuh kali ini memasuki edisi ke-45 dengan tema, "Kisah Istri Taat Suami Yang tidak mengunjungi Ayahnya Yang Sakit Sampai Wafat". Setelah MC yaitu Mba Hesti mempersilahkan barulah saya memulai acara yang berdurasi sekitar 60 menit tersebut. Sebenarnya secara pribadi saya sangat canggung dan gemetar ketika mendengar akan berkolaborasi pada acara tersebut. Lebih lagi ketika acara dimulai ternyata jamaah yang mengikuti lebih dari 100 orang dan di dalam zoom tersebut banyak tokoh, akademisi dan pejabat salah satunya Dr. Hj. Evi Muaviah, M.Ag (Rektor IAIN Ponorogo).

Pada pengantar acara saya menjelaskan bahwa relasi keluarga antara suami istri, anak orang tua, mertua atau besan menjadi menarik ketika ada hal-hal yang disalahpahami di masyarakat. Misalnya jika merujuk tema apakah benar posisi suami di atas segalanya bagi istri dan bagaimana posisi ibu di mata seorang anak laki-laki. Saya pun menukil tulisan Kiai Faqih mengenai pembahasan bahwa sejatinya institusi pernikahan dibangun dengan tujuan memadu kasih sayang dan menciptakan ketentraman.

Pada sesi diskusi ini tentu kita akan membahas terkait kisah seorang istri yang taat suami sehingga ia tidak beranjak dari tempat tidur padahal ayahnya tengah sakit bahkan sampai wafat. Cerita tersebut pun beragam versi salah satunya mengenai istri yang ditinggal perang dan suaminya berpesan untuk tidak kemanapun. Dalam cerita tersebut sampai ia tidak menjenguk ayahnya yang sakit bahkan hingga wafat. Versi lain mengatakan ada seorang ibu yang sakit sampai wafat karena tidak dirawat oleh anaknya (istri) dengan alasan taat pada perintah suami.

Dari cerita-cerita yang beredar itulah akhirnya timbul pertanyaan lantas bagaimana ketaatan antara istri pada suami dan bagaimana penghormatan suami pada orang tua terutama ibu. Bagaimana pula relasi ketaatan tersebut di antara perasaan ibu dan istri. Di sinilah kita akan mengurai bagaimana tema ini dinarasikan dalam perspektif ayat mubadalah.

Peran suami sangat jelas dalam al Qur'an yaitu, "Suami berkewajiban memberi nafkah istri dengan baik" (Al Baqarah: 231). Selain itu seorang suami juga berkewajiban berbakti pada orang tua khususnya ibu. Syeikh al Mundziri dalam Kitab at Targhib wat Tarhib minal Haditsis Syarif menyebutkan ada 9 amalan utama yang ke semuanya berkaitan dengan berbakti pada orang tua di antaranya; jihad merawat orang tua, membahagiakan, surga di telapak kaki ibu, orang tua pintu surga, ridha Allah pada orang tua, berbuat baik pada kerabat orang tua dll.

Setelah peran suami kini giliran peran istri bagaimana dengan konteks cerita yang ada. Sebelum cerita tersebut beredar luas kita harus tahu bahwa mengenai istri yang taat pada suami sampai ayahnya wafat adalah dalam periwayatan dan sanad hadits yang lemah. Hadits itu justru terdapat dalam Ihya Ulumuddin Imam Ghazali dan beberapa dalam Kitab Uqudulujain Syeikh Nawawi al-Bantani dengan redaksi, "Dosa besar bagi istri yang keluar tanpa izin suami". Akan tetapi walaupun begitu beberapa riwayat mengatakan bahwa ciri ahli surga bagi perempuan adalah; menjaga kesucian, menaati Allah dan suami, penyabar dan memiliki rasa malu. Jadi ketaatan pada suami adalah hal utama dalam Islam bagi seorang istri akan tetapi apakah mutlak?

Menurut Kiai Faqih cerita mengenai ketaatan istri pada suami yang sampai ayahnya wafat terlahir karena konteks perang. Di sinilah perlunya untuk bersikap dan memiliki pembacaan ulang terhadap teks hadits maupun ayat suci al-Quran. Secara rasio istri yang taat itu tak beranjak dari tempat tidur padahal ia meminta seseorang untuk menyampaikan berita tersebut pada Rasulullah. Seharusnya jika untuk meminta bantuan pada orang lain terkait pesan itu bisa mengapa tidak menolong ayahnya terlebih dahulu. Di sinilah kita belajar akan ketaatan yang sebenarnya bisa dikompromikan dan bersifat luwes. Mungkin jika konteks kekinian bisa lebih cair dengan adanya teknologi.

Lantas bagaimana menyikapi ketaatan istri kepada suaminya? Yang terpenting kuncinya adalah saling memahami, menghormati dan menghargai. Tidak mungkin seorang suami membiarkan sesuatu hal yang lebih besar jika tanpa alasan. Oleh karenanya kata Kiai Faqih dalam masalah itu solusinya temukanlah hal yang ma'ruf. Jika perkara ketaatan tersebut adalah sesuatu yang bisa dijangkau karena kebaikan bukan kiri kanan melainkan sama-sama saling menentukan hal terbaik bukan legitimasi superioritas. Bahwa antara suami istripun memiliki hak dan kewajibannya tersendiri. Prinsipnya bahwa berbuat baik itu adalah kewajiban keduanya. Maka dari itu dalam hal apapun kita perlu memiliki sikap pembacaan yang berkesadaran. Relasi suami dan istri adalah terletak pada sikap keridhaan. Jika keduanya mengedepankan solusi tentu hal-hal yang kaku dan memaksa akan dihindari.

**Dalam catatan ini saya menghaturkan terimakasih kepada Mba Admin sekaligus teman sewaktu berproses di kampus IAIN Tulungagung (sekarang UIN) yaitu Mba Hesti Anugrah Pangesti yang telah mempercayakan kami menjadi tuan rumah Tadarus Shubuh bersama Kiai Faqih. 

Lebih lengkapnya bisa disimak pada link berikut: https://youtu.be/8TfZ-w4Zjac

the woks institute l rumah peradaban 22/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...