Langsung ke konten utama

70 tahun Simbah : Sang Guru Keikhlasan



Ilustrasi dari Jamaah Maiyah Lamongan

Woko Utoro

Beberapa hari lalu guru besar Maiyah, Emha Ainun Nadjib bertambah usia. Mbah Nun sapaan akrabnya kini genap 70 tahun sejak dilahirkan 27 Mei 1953 di Jombang. Tentu siapa yang tidak tahu kiprah beliau khususnya di dunia kebudayaan sangat luar biasa. Mbah Nun menjadi manusia yang paling lengkap dalam upaya membangun manusia Indonesia. Lewat kelompok musik Kiai Kanjeng, Mbah Nun masih eksis sejak suksesi kepemimpinan silih berganti hingga kini walaupun di usia senjanya.

Apa yang dilakukan Mbah Nun sejak medio 70an hingga kini tak lain sebuah upaya membersamai masyarakat utamanya di kalangan akar rumput. Kita juga tahu bahwa Mbah Nun adalah manusia multi dimensi yang masih tersisa pasca wafatnya Gus Dur. Pekerjaan ngemong masyarakat tentu tidak mudah. Hanya orang-orang seperti Mbah Nun lah yang mampu. Soal dakwah Islam, budaya, keindonesiaan hingga alam semesta misalnya ketika banyak pendakwah sibuk menyiapkan metode justru beliau tetap konsisten. Mbah Nun masih seperti dulu dengan Kiai Kanjeng nya. Hal itulah yang juga diamini oleh personil Kiai Kanjeng generasi awal seperti Nevi Budianto dan Toto Rahardjo.

Para assabiqunal awwalun tentu sangat haru karena perkembangan Maiyah sampai hari ini sangat luar biasa. Jika dibanding masa awal mbabad alas hingga kini tentu perubahannya mega luar biasa. Sesuatu hal yang belum terbersit dalam hati dan pikiran. Barangkali memang demikian, hasil dari tirakat istiqamah Mbah Nun. Sampai akhirnya Maiyah dan Kiai Kanjeng adalah kado terindah yang masih kita nikmati hingga hari ini. Bahkan setidaknya akan mampu bertahan minimal 500 tahun ke depan, bekerja menguatkan hati menjernihkan pikir.

Di usia ke 70 tahun tentu adalah kenikmatan sekaligus bonus luar biasa bagi Indonesia. Karena diberikan titisan kekasihnya bernama Muhammad Ainun Nadjib. Usia yang tak lagi muda dan kita anak cucu selalu berdoa buat kesehatan dan keberkahan hidupnya. Atau mungkin terbalik kitalah yang selalu mendapatkan longsoran doa dari beliau. Kitalah yang selalu ditangisi dan disebut-sebut dalam doa khusuknya. Begitulah seharusnya setiap simpul memang perlu bersyukur atas nikmat yang telah Allah kristalkan lewat Simbah.

Untung saja kita terlebih dahulu mengetahui Simbah lewat tulisannya. Tulisan yang menjadi ruh betapa luasnya samudera pemikirannya. Selain itu lisan beliau yang banyak hikmah penuh makna mampu memeluk kita yang terlalu banyak ditipu dunia. Simbah memang lebih mengetahui isi hati kita anak cucu karena telah masuk ke dalam ruang batin kita. Mbah Nun begitulah kiranya bahwa tulisannya telah merasuk ke setiap hati pembaca. Keseniannya menembus ruang dan waktu. Lagu dan syairnya menerobos batas. Maka pantas saja lebih dari 35 tahun beliau telah nandhur. Maiyah dan kebersamaan adalah tanduran terbesar beliau.

Kita tahu apa yang dilakukan Mbah Nun adalah cara agar kita tetap kuat walaupun jaman silih berganti berubah. Mbah Nun hanya ingin kita kuat atau tidak menyebut terlalu rapuh di depan dunia fana. Mbah Nun hanya ingin kita setidaknya mewarisi 4 ajaran utamanya yaitu; berkesadaran, menemukan diri, menjadi autentik dan menjadi manusia merdeka. Simbah memang tahu apa yang sesungguhnya kita butuhkan. Kita harus membutuhkan hal-hal yang esensial daripada memburu material.

Kalau bukan Mbah Nun barangkali tak akan kuat. Betapa sabarnya beliau menunggui kita anak cucu yang tak kunjung berubah. Maka dari itu tak salah jika Sabrang Mowo Damar Panuluh menyebutkan bahwa bapaknya adalah manusia yang tlaten, selalu istiqamah ngramut kita dengan keragaman ini. Termasuk menyelam dengan kerja-kerja keikhlasan. Kerja-kerja yang biarkan Tuhan sang maha kasih mengasihinya bersama kekasih sejati, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Terakhir pesan Simbah adalah aktivasikanlah sulthon dalam diri. Sulthon tersebut merupakan tranmisi dari surah Ar Rahman [27]: 33 "Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan". Kekuatan atau sulthon itu tak lain adalah Allah. Kekuatan yang harus diakses tiap hari dan tak kenal lelah. Dialah satu-satunya yang bisa diandalkan, bukan yang lain lebih lagi amal kita yang secuil.

Kata Simbah, ayat tersebut adalah bukti Allah menantang siapa saja apakah mampu menembus batas keillahian. Maka secanggih apapun jaman kita santai dan tenang saja. Karena kecanggihan teknologi tak akan mampu menembus dimensi keillahian. Dan yang mampu adalah kekuatan sulthon yang ada dalam diri. Maka dari itu Simbah berpesan jika nanti beliau dipanggil sang Kuasa tak usahlah bersedih. Tak usahlah merasa bingung dan susah karena beliau akan tetap hidup. Beliau akan tetap satu frekuensi dengan jamaah Maiyah. Beliau akan tetap datang, berkunjung kepada mereka yang hatinya dipenuhi dengan cinta. Santai saja, kata Simbah beliau sudah menghuni pikiran dan hati kita sejak lama. Maka dari itu beliau tak akan pergi jauh dan memang akan bersemayan abadi dalam sanubarinya para pecinta.

Sugeng Tanggap Warsa Simbah kulo, Mbah Nun, Emha Ainun Najib kaping 70. Berkah wilujeng.

Srigading, penghujung Mei 2023




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...