Langsung ke konten utama

Hidup Untuk Mati Menulis Untuk Abadi




Woko Utoro

Saya diundang di acara kepenulisan jurusan Tasawuf Psikoterapi. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan dan siap untuk datang. Beberapa hal yang membuat saya antusias; pertama, niat tholabul ilmi, kedua, menyebarkan ilmu, ketiga silaturahmi. Alasan tersebutlah menjadi pengantar saya bersua teman-teman yang sebenarnya sudah terpaut jauh.

Tidak hanya belajar agama, soal menulis pun harus memiliki sanad yang jelas. Ibarat pejalan seseorang perlu pemandu untuk menyebrangi jalan. Maka dari itu kita perlu belajar dalam hal ini menulis. Seperti yang diketahui bahwa menulis adalah kemampuan akademik yang harus dimiliki mahasiswa. Menulis adalah cara untuk menyampaikan gagasan dan menyebarkan ide-ide segar.

Kembali ke niat tersebut. Pertama niat tholabul ilmi adalah cara agar kita diakui umat nabi. Karena wahyu pertama dari Allah adalah iqra yang secara tidak langsung memberikan pesan untuk menimba ilmu. Kedua niat menyebarkan ilmu adalah cara agar ilmu terus lestari. Maka ada istilah sesuatu yang semakin diberikan justru semakin bertambah adalah ilmu. Jangan sampai kita khitmanul ilmi atau menyembunyikan ilmu. Jika demikian ancamannya berbahaya. Ketiga adalah silaturahmi yang menjadi tujuan tetap sambung antara jasad dan ruh. Dengan begitu kita akan selalu bersatu memberikan hal-hal baik.

Jangan dikira apa yang kita lakukan tidak berkaitan dengan agama. Pesan dari Prof Ibrahim Hosen ketika akan wafatnya bahwa usaha untuk belajar, meneliti atau riset juga bagian dari agama. Yaitu ikhtiar untuk menggunakan nikmat Allah yang paling besar yaitu akal. Dengan akal manusia bisa mencapai segala yang tidak diketahui. Maka dari itu tulislah segala macam ide dan gagasan mu. Karena dengan berpikir maka kamu hidup.

Terlebih acara tersebut mengambil tema yang luar biasa yaitu "Hidup untuk Mati Menulis Untuk Abadi". Memang benar apalagi tujuan hidup selain kematian. Hanya saja manusia sudah cenderung memiliki kemewahan sehingga lupa bahwa muara hidup adalah mati. Maka dari itu lewat tema tersebut kita diingatkan. Sedangkan menulis adalah mengisi kehidupan itu sendiri. Jika tulisan membuat kita abadi mengapa tidak menulis. Seharusnya apa yang sering digaungkan Pramoedya bahwa menulis untuk keabadian. Abadi dalam arti merawat kebermanfaatan secara lebih lama.

Maka lewat acara seperti ini kita akan terus optimis kursus-kursus kebaikan masih lestari. Jangan takut untuk terus mencoba dan belajar. Karena diluaran sana masih banyak orang yang memiliki cita-cita untuk terus belajar. Salah satu orang beruntung yang bisa belajar adalah kita. Maka bersyukurlah selagi masih diberi kesempatan. Mari menulis merawat akal sehat.

Kantor NU Ranting Serut, 26/5/23

the woks institute l rumah peradaban

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...