Langsung ke konten utama

Media dan Tradisi Mewakili Perasaan




Woks

Di Indonesia itu jika terjadi sesuatu mudah booming istilah kekiniannya. Terlebih pada sesuatu yang viral masyarakat kita mudah untuk ikut dalam circle alias arus media. Kendati belum menemukan data pasti yang jelas saya meyakini bahwa kalangan akar rumput lebih banyak rasa ingin tahunya daripada menahan diri untuk segera berenang dalam arus informasi. Inilah fenomena komunikasi kita saat ini terlebih media sosial menyuguhkan beragam informasi.

Di tengah tsunami informasi seseorang bisa saja berenang maupun tenggelam. Dari sana ragam informasi baik buruk, positif negatif bercampur baur. Maka hanya filtrasi kedewasaan, kejernihan dan kesadaran yang dapat membendungnya. Bagi masyarakat yang waras tentu tahu mana hal baik dan buruk terutama orang tua terhadap anaknya. Maka fenomena media sosial memiliki dua sisi yaitu positif negatif.

Kita menjauh dari hal normatif saat ini menuju kebaikan media sosial salah satunya mampu menyebarkan informasi begitu cepat. Kecepatan itulah juga berdampak pada arus tranding istilah kerenya saat ini. Misalnya mengapa film KKN di Desa Penari, Layangan Putus, Tilik begitu diminati. Saat ini yang terbaru film Hati Suhita begitu digandrungi. Apa faktor film tersebut diterima di masyarakat. Jawabannya karena terdapat konstruksi media.

Konstruksi media memang paling jitu dalam menggait penonton. Dari konstruks tersebut media mampu mengkomunikasikan secara dua arah. Lebih lagi apa yang dibaca, didengar dan ditonton mewakili perasaan khalayak. Sehingga lengkaplah sudah urusan marketing media. Terlepas terdapat penekanan pada esensi atau sekadar kulit di permukaan. Yang jelas fungsi hiburan benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat.

Dari medialah kita belajar tentang apa yang disebut terwakili karena perasaan yang terlanjur masuk. Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylavia Moss, komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tindakan. Jika merujuk pada pengertian tersebut maka media utamanya film telah mampu menimbulkan kesenangan bagi penikmatnya. Intinya sesuatu hal yang mampu mewakili perasaan akan mudah diterima.

Kang Maman menyebutkan bahwa jika tulisan ingin diterima maka menulislah dengan hati. Tulisan yang dihasilkan dari hati maka akan sampai ke hati. Dari film, tulisan maupun media itu sendiri kunci utamanya adalah komunikasi dan pahami perasaan. Saat ini kepintaran media adalah mampu menyampuradukan suasana sehingga penonton merasa perlu untuk penasaran bahkan sampai histeria. Media memang mampu memperbudak penggunanya. Jika tidak kritis terhadap media maka seseorang akan mudah untuk tenggelam. Terakhir soal perasaan apakah benar kita terwakili oleh media atau apakah memang benar kita mau diwakilkan oleh media?

the woks institute l rumah peradaban 12/5/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...