Langsung ke konten utama

Indonesia Idol: Antara Musik dan Identitas Agama




Woko Utoro

Ajang pencarian bakat dalam bernyanyi yang masih eksis hingga saat ini adalah Indonesia Idol. Acara yang disiarkan RCTI itu sudah memasuki tahun ke 12 sejak bergulir tahun 2004 silam. Tentu di tahun 2023 ini salah satu momen bersejarah sekaligus gurih untuk dibahas. Pasalnya kita saksikan bersama di mana ada 2 finalis berhijab di partai final.

Jika berkaca pada hijab dalam hal ini penutup kepala (baca: kerudung) saya jadi ingat salah seorang kolega. Dalam kisah itu ia menuturkan bahwa suatu hari ingin dikumpulkan bersama orang-orang yang berhijab. Ternyata sekitar beberapa tahun kemudian pasca ia memutuskan resign dari pekerjaan lantas doanya terkabul. Ia memasuki dunia kerja baru yang ternyata karyawannya mayoritas orang-orang berhijab. Lantas apa pentingnya hijab?

Jika kita menyaksikan Indonesia Idol tahun ini menarik karena Salma dan Nabila menjadi jawara di malam puncak. Biasanya pola Indonesia Idol selalu diperebutkan penyanyi berdarah Batak yang memang biasa bernyanyi di gereja. Tentu tidak ada hijab di malam puncak tersebut. Ini sekaligus menjawab pertanyaan di awal bahwa hijab itu bukan sekadar simbol agama. Hijab juga bukan sekadar busana penutup kepala. Hijab adalah harga diri yang perlu dipertahankan.

Hijab menjadi identitas agama dan ini penting. Jika dilihat dari industri pertelevisian mungkin hijab tidak menjual rating. Akan tetapi hijab setidaknya bisa berdampak luas khususnya bagi para penonton. Kita bisa saja berspekulasi orang berhijab saja bisa bertalenta tanpa perlu risih untuk mengikuti pangsa pasar. Maka bisa saja lewat tokoh berhijab bisa berdampak bagi perkembangan fashion muslimah di Indonesia.

Untung saja kita hidup di negeri inklusif seperti Indonesia. Di mana negara ini masih akomodatif terhadap perbedaan utamanya pada simbol-simbol agama seperti hijab. Berbeda jika kita hidup di Eropa khususnya Prancis, hijab atau kopiah misalnya menjadi sesuatu yang harus dilucuti. Karena mau tidak mau simbol agama tidak diperbolehkan di negeri yang tak ramah itu. Alasan karena sekulerisme adalah hal utama terlebih negara menjadi alat kontrol pada mereka pemeluk agama.

Semoga saja dalam ajang pencarian bakat apapun intinya jangan alergi dengan simbol agama. Asal tidak terjadi polarisasi dan politisasi agama semua berjalan pada tatanannya. Kita hanya perlu adil bahwa ruang agama itu universal dan bisa menyeluruh ke segala sisi. Bahkan hijab saat ini bisa diterima pada atlet perempuan di ajang olahraga internasional. Dan memang harus demikian. Dari ajang pencarian bakat tidak hanya soal seni tarik suara melainkan nilai kerohanian yang harus dihormati.

Terakhir pola dalam Indonesia Idol adalah bukan siapa yang juara. Karena selama ini sudah banyak talenda dilahirkan dan menjadi juara. Akan tetapi kejuaraan sejati adalah mereka yang berkarya. Hijab atau tidak semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya. Hanya saja yang memiliki karyalah mereka yang bertahan. Tolok ukur soal seni memang bukan simbol agama melainkan karya. Kendati agama menjadi ruh utama dalam karya justru itu poin plus. Kita bisa ambil contoh karya yang dipenuhi ajaran agama adalah lagu-lagu Bang Haji Rhoma Irama. Lagu itu penuh petuah agama maka pantaslah hingga hari ini masih bertahan di tengah gempuran zaman.

Pilih Salma atau Nabila, atau pilih Suhita apa Rengganis? Pilih yang pasti-pasti saja ya. Wkwk

the woks institute l rumah peradaban 28/5/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...