Woko Utoro
Mahalul Qiyam atau orang Jawa menyebutnya srakal adalah syair puncak yang dibacakan dalam penutup maulid nabi. Syair tersebut tentu bagian paling sakral dalam rangkaian pembacaan maulid nabi. Sakralitas mahalul qiyam dibuktikan dengan sikap berdiri ketika kita mendengar pujian tersebut. Orang Jawa menyebut srakal berasal dari kata pertama mahalul qiyam yaitu ﺃَﺷﺮَﻕَ ﺍﻟﺒَﺪْﺭُ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ. Kata tersebut hampir dijumpai dalam ragam kitab maulid. Kitab maulid paling mashur tentu Al Barzanji, Diba' dan saat ini ada Simtudurror dan Dhiyaullmi'.
Kata guru saya Ustadz Zakaria ibnu Tasari bahwa srakal berasal dari nama orang yaitu Asrokol. Dia adalah orang dengan kulit hitam yang suatu hari pernah ditantang oleh masyarakat untuk mengaji. Singkat kisah ia yang tidak bisa mengaji itu jatuh pingsan. Seketika terjaga lalu ia bangkit dan berdiri seraya mengucapkan, "Ya nabi salam alaika, ya rasul salam alaika". Dari peristiwa itulah masyarakat menyebutnya asrokol atau srakal. Dari itu pula saya pernah ditanya kira-kira apakah pernah memiliki cerita atau pengalaman ketika mahalul qiyam dilantunkan.
Beragam hal pernah dirasakan ketika mahalul qiyam tentu cerita lewat lisan dan tulisan sangat banyak. Salah satu yang mashur adalah kisah Mbah Hamid bin Umar Pasuruan yang tak kuasa berdiri saat mahalul qiyam. Ketika ditanya oleh Mbah As'ad Syamsul Arifin Situbondo mengapa beliau tidak berdiri jawabnya Mbah Hamid, karena tak kuasa sebab Kanjeng Nabi Muhammad berada tepat di hadapan beliau. Ada juga orang yang menangis tersedu-sedu ketika mendengar lantunan mahalul qiyam padahal ia baru pertama mendengar dan itupun tidak mengetahui artinya. Bisa jadi hal-hal yang telah disebutkan adalah bagian dari pengalaman keagamaan atau William James menyebut religion experience.
Mengapa mahalul qiyam sedemikian kuatnya. Bisa jadi kekuatan itu melebihi konser dalam lagu-lagu pop. Ini memang soal rasa yang bahkan para pelantun syair tersebut kadang memiliki pengalaman yang emosional. Air mata atau keringat kadang deras mengalir tak kuasa dibendung. Saya pun demikian merasakan frekuensi spiritual yang besar. Kadang memang kita perlu mengingat perjuangan nabi ketika awal-awal berdakwah. Ketika di Madinah begitulah bayangan kita tertuju di mana beberapa riwayat menyebutkan jika nabi disambut dengan puji-pujian atau madah oleh penduduk Yastrib pada waktu itu. Penduduk pun girang bahkan sampai berjingkrak-jingkrak.
Bayangan itulah barangkali yang membuat para pelantun mahalul qiyam tak terkendali. Emosi mereka seakan bersatu dengan kondisi riil era kenabian. Jadi perasaan haru dan gembira bercampur aduk terhubung ke masa silam penuh perjuangan. Atau barangkali bisa jadi bahasa sastra memang mampu mewakili rasa. Sastra salah satu bahasa tingkat tinggi yang sulit ada padanannya.
Kesusastraan hadir sebagai bagian eksistensi dari keberadaan manusia. Pada mulanya semua sastra bersifat religius, kemudian berdasarkan perkembangannya menjadi media ekspresi pengalaman estetik dan mistik dimana manusia ketika berhadapan dengan kekuatan “alam" (natural) dan “ilahi”(supernatural (Febriyanti et al). Maka dari itu wajar jika para pelantun mahalul qiyam begitu menikmati aliran spiritualnya. Orang yang sudah sangat emosional dalam melantunkan mahalul qiyam biasanya sulit untuk digali objektivitasnya. Tapi memang demikian fakta yang beredar karena kitab maulid memang berisi rasa magis karena keindahan bahasanya.
Menurut A. Teeuw sastra tidak dapat diteliti dan dipahami secara ilmiah tanpa mengikutsertakan kemasyarakatannya yaitu tanpa memandangi sebagai tindak komunikasi. Hal tersebut berarti bahwa sastra bukanlah komunikasi yang biasa dan mempunyai banyak segi yang aneh dan luar biasa jika dibandingkan dengan tindak komunikasi lain. Inilah barangkali jawaban atas segala pertanyaan yang telah disebutkan. Bahwa bahasa sastrawi adalah dimensi batin yang tidak bisa dipahami. Maka dari itu mahalul qiyam sedemikian sulitnya akan mudah meresap pada jiwa dan hati para pecinta.
the woks institute l rumah peradaban 2/6/23
Komentar
Posting Komentar