Woko Utoro
Bicara tentang makanan tentu sangat unik jika objeknya adalah santri. Ya, makanan tidak bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Karena setiap orang butuh makan maka aktivitas satu ini menjadi kebutuhan. Akan tetapi makanan hanya sebatas keinginan jika seseorang memiliki banyak uang. Biasanya psikologis orang banyak uang adalah memiliki kecenderungan untuk membeli. Bahkan membeli sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi komoditas utama.
Soal makanan tentu kita belajar dari banyak hal termasuk pada guru-guru. Misalnya pesan-pesan keluhuran tentang makanan datang dari Buya Hamka. Kata beliau hidup itu bukan untuk makan tapi ibadah. Karena hidup yang berorientasi makan tak ada bedanya dengan kera di hutan. Jika orientasi hidup sekadar kerja tak ada bedanya dengan babi di hutan. Maka perbedaan kita adalah ibadah dan memang manusia adalah mahluk berakal.
Selanjutnya dawuh Gus Baha bahwa untuk bahagia tidak usah menunggu memiliki Alphard (mobil mewah) atau dengan maksiat. Bahagia itu cukup dengan makan. Maka logika yang dibangun adalah keren mana orang punya Alphard dengan yang bisa makan. Jika orang tak bisa makan bisa mati tetapi orang tidak memiliki Alphard biasa saja. Maka makan lebih penting daripada memiliki Alphard yang kita sendiri tidak membutuhkannya.
Kaitannya dengan makanan kita memang diperintahkan untuk hati-hati. Karena bagaimanapun juga makanan menjadi faktor penentu. Ada orang yang celaka hidupnya karena faktor tidak menjaga soal makannya. Setidaknya kita harus memperhatikan dari mana asal makanan, dzatnya, hingga cara memperolehnya. Dalam kitab Wasiyatul Mustofa Sayyidina Ali mengingatkan dari nabi bahwa makanan bisa jadi faktor penentu kesucian hati. Jika yang dimakan makanan baik maka baik pula hatinya namun sebaliknya makanan haram akan berpengaruh pada perangai dll.
Asal makan itu hukumnya mubah. Akan tetapi makan bisa jadi wajib jika hal itu dapat menyelamatkan kehidupan. Maka makan lebih baik untuk menghindar dari kematian. Perlu diperhatikan pula tentang porsi makan. Biasanya orang gemuk akan mudah makan dan hal ini bisa berbahaya. Selain soal kesehatan makan banyak juga berdampak pada kualitas ibadah. Orang banyak makan akan jadi pemalas. Kitab Wasiyatul Mustofa dan Ta'lim Muta'alim menjadi literatur yang cukup membuat kita sadar bahwa makan itu secukupnya saja. Ada istilah populer berhentilah makan sebelum kenyang atau Ki Ageng Suryomentaram memberi pesan agar sak cukupe, sak butuhe. Karena sebenarnya kebutuhan kita itu hanya sebatas melewati kerongkongan, tidak lebih.
Bicara makanan memang unik. Saking uniknya hampir tradisi di Indonesia selalu berkaitan dengan makanan. Maka tidak aneh jika ada ungkapan musuh di luar sahabat di meja makan. Bahkan cinta bisa disalurkan lewat makanan. Orang cenderung memiliki kesan dan hutang budi cuma karena makanan. Orang juga bisa bahagia dan tidak objektif misalnya karena traktiran. Makanan memang dampaknya sangat luar biasa. Tanpa makanan kita tak akan pernah bersatu. Bahkan panasnya suhu politik salah satunya karena faktor mempertahankan isi perut. Maka untuk membedakan antara manusia dan mahluk lain jangan sampai soal isi perut melainkan isi kepala lebih lagi isi hati.
the woks institute l rumah peradaban 6/6/23
Komentar
Posting Komentar