Langsung ke konten utama

Perbukuan dan Kemanusiaan




Woko Utoro

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan tragedi kemanusiaan di India. Sekitar 288 jiwa meninggal karena kecelakaan kereta api. Tentu walaupun berita tersebut bukan di Indonesia akan tetapi pilunya sampai ke sini. Bagaimanapun juga tragedi kemanusiaan selalu meninggalkan duka mendalam khususnya bagi keluarga korban dan pengampu kebijakan. Sedih karena ditinggalkan orang tercinta sekaligus terpukul mengapa tragedi nahas tersebut mengapa terjadi.

Di Indonesia pada 23 Mei 2023 toko buku legendaris di Jakarta yaitu Gunung Agung gulung tikar. Gunung Agung mengikuti toko buku lain yang lebih dulu pamit seperti Toga Mas dan Salemba bahkan perusahaan jamu Nyonya Meneer pun tak kuasa menahan kerasnya perubahan zaman. Toko buku yang beroperasi hampir 70 tahun sejak didirikan pada 1953 oleh Tjio Wie Tay atau Haji Masagung telah berkontribusi khususnya bagi dunia literatur Indonesia. Cabang yang berada hampir di seluruh kota besar Indonesia mau tidak mau harus ditutup semua. Gunung Agung tentu hanya akan menjadi sebuah cerita.

Ada hal menggelitik ketika Gunung Agung diberitakan menutup seluruh gerainya. Media bahkan dengan gegabah menuliskan sebagai senjakala perbukuan, tak kuasa menahan tsunami informasi sehingga toko buku bangkrut, atau bahkan kiamat toko buku. Frasa itu sebenarnya menunjukkan fakta namun sekaligus mengandung hiperbola dan membawa perasaan kecewa. Bagi saya walaupun tutupnya toko buku tidak bisa disamakan dengan tragedi kemanusiaan seperti di India. Akan tetapi pamitnya toko buku adalah tragedi pikiran. Di mana seseorang akan kehilangan separuh dari bacaanya.

Jika para pembaca hanya beralih dari bacaan buku fisik ke e-book mungkin kita bisa optimis. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya, rasanya tidak. Keberadaan e-book belum menjadi jaminan atau lebih tepatnya tergantung minat baca. Maka ada istilah para penjual buku tak khawatir dengan keberadaan e-book. Yang mereka khawatirkan adalah minat baca yang rendah. Mungkin saja pendapat tersebut kontradiksi dengan pandangan Wien Muldian bahwa ternyata di balik berakhirnya toko buku bukan karena minat baca melainkan akibat kurang updatenya para penjual buku.

Fenomena tutupnya toko buku memang unik bahkan di antara penjual buku yang memanfaatkan media online pun masih kesulitan mendapatkan keuntungan. Mereka merasa ini sudah bukan zamannya orang membaca buku akhirnya menutup gerai adalah pilihan utama. Yakinlah lagi-lagi minat baca masyarakat kita sebenarnya tinggi. Hanya saja akses ke bacaan yang masih sulit lebih lagi jika merujuk pada bacaan bergizi. Masyarakat masih cenderung menjadi pembaca receh atau terkena arus media sosial jika pun membaca berat mereka justru mengakses buku bajakan. Hal itulah yang masih menjadi fenomena miris sampai hari ini.

Dengan tutupnya toko buku sebagai asupan pikiran kita mungkin perlu mendengar masukan Wiem Muldian. Kata CEO Indonesian Writers Inc tersebut seharusnya toko buku merespon cepat dengan beradaptasi, melahirkan inovasi serta memahami perilaku konsumen. Mengapa demikian? selain karena digitalisasi sangat masif pertarungan toko buku berawal dari kasus pandemi yang melanda negeri. Pandemi memukul pergerakan sehingga antara penjualan, pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang. Akhirnya seperti yang kita lihat toko buku pun dipaksa untuk the end.

Muldian menyarankan jika toko buku ingin bertahan setidaknya mereka tidak hanya sekadar jualan buku. Seperti yang diketahui bahwa orang jualan buku ternyata belum tentu menikmati buku (baca : pembaca). Faktanya mereka hanya sekadar penjual buku dengan berharap keuntungan besar. Ini percis dengan warung kopi berbasis diskusi di Tulungagung yang berharap menarik banyak pelanggan. Mereka menawarkan tempat nyaman, akses buku bacaan dan wadah berkesenian. Nyatanya semua itu hanya slogan tanpa ada pembuktian.

Back to soal buku. Seharusnya para penjual buku berpikir agar mereka juga berkarya lalu menseminasikan buku tersebut. Sehingga dengan buku yang terus dibicarakan orang menjadi tertarik untuk membelinya. Apalagi saat ini banyak orang beralih ke media sosial dengan segala macam konten berkaitan dengan buku. Buku-buku dikupas dengan segala macam keunikannya. Setelah itu barulah setting toko dan buku sebagai sebuah fungsi hiburan. Dalam arti bahwa orang datang untuk mendapatkan dua fungsi sekaligus yaitu hiburan dan akses bacaan.

Terakhir jika toko buku benar-benar tidak lagi ditemukan. Lalu perpustakaan sudah kehilangan fungsinya apa boleh buat. Apakah kita tidak salah jika hal itu disebut tragedi kemanusiaan. Sebuah tragedi yang bukan pertumpahan darah memang, melainkan mengkerdilkan pikiran secara perlahan. Dengan demikian apa lagi yang akan kita baca. Apakah internet yang pongah itu akan kita andalkan di masa depan? Entahlah.

the woks institute l rumah peradaban 12/6/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...