Woko Utoro
Jika kita membaca kembali sejarah disyariatkannya kurban seraya bertanya apakah ada manusia seperti Nabi Ibrahim di zaman ini? Sepertinya sangat langka atau bahkan tidak ada. Pasalnya apa yang dilakukan Nabi Ibrahim sudah di luar kendali manusia. Akan tetapi soal perasaan Nabi Ibrahim yang diperintah menyembelih putranya Ismail juga sama halnya seperti hamba biasa.
Nabi Ibrahim tentu memiliki sisi basyariah sama seperti manusia pada umumnya. Akan tetapi karena kemantapan iman, keteguhan prinsip dan kelapangan jiwanya beliau melaksanakan perintah tersebut dengan tulus. Nabi Ibrahim lulus sebagai salah seorang utusan Tuhan hingga masuk kategori ulul azmi.
Secara psikologis pengorbanan Nabi Ibrahim memang berada di level tingkat tinggi. Betapa tidak, beliau seorang lelaki, seorang ayah yang lama mendamba kehadiran anak. Ketika menunggu lama beliau berproses bahkan harus melewati dua orang perempuan yaitu Sayyidah Sarah dan Sayyidah Hajar. Ketika dalam proses panjang itu Nabi Ibrahim gembira, istrinya Sayyidah Hajar memberinya putra bernama Ismail. Lantas ketika dalam kebahagiaan tersebut datanglah perintah menyembelih tersebut.
Secara psikologis apa yang membuat Nabi Ibrahim rela berkorban? sederhana saja namun berat yaitu beliau memiliki komitmen dan rasa saling memiliki. Komitmen beliau tentu berdasarkan kesadaran tauhid bahwa segala sesuatu ada pemiliknya dan putranya Ismail tersebut adalah milik Allah. Ketika sang maha pemilik memintanya apa boleh buat Nabi Ibrahim merelakannya.
Selanjutnya rasa saling memiliki yang juga disandarkan pada pengetahuan. Bahwa Nabi Ibrahim tahu walaupun Ismail adalah buah hatinya akan tetapi kepemilikannya tersebut sebatas di dunia sedangkan hakikatnya semua milik Allah. Di bagian akhir inilah jika dikontekskan era kekinian orang serasa memiliki. Akibatnya ketika memiliki sesuatu mereka kuasa di atas semua. Padahal semua milik Allah dan akan kembali padanya.
Demikianlah kita belajar pada Nabi Ibrahim bahwa dengan ilmu (pengetahuan) kadang masih membuat goyah. Sedangkan dengan iman (yakin) menjadi meyakinkan. Tanpa ilmu keimanan akan dangkal sedangkan tanpa iman ilmu selalu membangkang. Maka dari itu Nabi Ibrahim adalah sosok yang memiliki ilmu sekaligus keimanan. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail memang selalu menjadi puncak untuk kembali bertanya di manakah letak pengorbanan kita. Atau lebih tepatnya kisah Ibrahim sebagai pengingat apakah kita sudah berkorban. Karena rumusnya bahwa berkorban itu memang menyerahkan sesuatu yang bahkan sangat dicintai. Sudah mampukah kita berkorban buatnya?
Penghujung Juni di hari Idul Adha 1444 H
the woks institute l rumah peradaban
Komentar
Posting Komentar