Langsung ke konten utama

Berumah di Buku dan Klipingan Koran (5)




Woks

Dulu ketika buta aksara masih besar jumlahnya orang selalu mengkambinghitamkan buku karena jumlahnya terbatas. Kini di saat buku melimpah ruah, akses pengetahuan mudah orang menyalahkan minat baca. Lantas di mana akar permasalahannya?

Sebenarnya ini soal kemauan dan soal sikap bagaimana memfungsikan buku menjadi barang yang berharga. Dulu di zaman penjajahan orang ingin membaca harus rela membayar alias menyewa. Berlanjut ketika orde baru orang dijauhkan dari buku sebagai asupan utama pengetahuan. Maka pantas saat itu dan hari ini menyisakan manusia yang tertinggal dari buku. Belum lagi perlakuan politik juga tak kalahnya berefek pada buku. Misalnya buku-buku berhaluan kiri diberantas hangus bersama dengan ideologinya. Tidak hanya itu sentimen berkepanjangan masih bergejolak pada keluarga yang (dianggap) berhaluan kiri tersebut. Jangankan buku sekadar klipingan koran pun saat itu sulit mendapat keamanan.

Kini dunia sudah berbeda. Buku-buku sudah masuk rak perpustakaan dengan rapih bahkan sebagian menjelma maya di ruang digital. Buku dan klipingan mudah diakses dan enak dibaca. Buku dan klipingan majalah lawas bisa dinikmati dengan sekali klik. Tapi kita bermasalah lagi di manusianya. Minat baca rendah dan katanya tak usah repot-repot baca, internet sudah menyediakan segalanya.

Kita memang tidak tahu sejak kapan orang-orang mendewakan internet. Soal pengetahuan internet dengan gaya instannya memang lebih digandrungi daripada buku. Apakah karena orang tidak ingin repot cuma karena membuka buku lebih lagi mengkliping koran-koran pagi yang terbengkalai. Kadang kita merasa miris sebenarnya buku milik siapa termasuk koran dan langganannya. Selama ini yang berlangganan koran hanya instansi itu pun jarang dibaca serius.

Kita pernah membaca karya N. Mursidi yaitu "Tidur Berbantal Koran". Karya novel Mursidi tersebut sesungguhnya diambil dari kisahnya ketika menjadi loper koran di Jogja. Pada saat itu ia merasa tertarik karena ada satu tukang becak yang selalu membeli koranya. Ketika ditanya untuk apa koran itu sang bapak menjawab, "untuk gizi pengetahuan". Sesederhana itulah membaca akan tetapi masih terlalu rumit bagi mereka yang tak suka baca.

Kita juga ingat ketika Gol A Gong membaca koran untuk membeli pabrik koran. Awalnya seorang bapak sanksi karena ia sering membaca koran yang dianggap tidak membuat menjadi orang kaya. Hingga dalam sejarah ia membuktikan bahwa lewat membaca walaupun sekadar koran tapi dampaknya luar biasa. Kini Gol A Gong menjadi salah satu orang tersukses di Indonesia salah satunya lewat karya Balada Si Roy.

Orang membaca buku atau mengkliping koran memang bukan pekerjaan menjanjikan. Akan tetapi keduanya merupakan aktivitas penunjang literasi agar hidup terus maju. Menurut beberapa ahli mengatakan bahwa membaca memiliki efek luar biasa baik bagi tubuh, otak, bahasa hingga sosial. Mengkliping koran pun demikian sama halnya dengan para filatelis yang berdekatan bersama perangko. Jadi sebenarnya ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk memberi asupan pengetahuan. Di tengah pusaran zaman tak menentu membaca tak akan lekang oleh waktu.

Kita tak akan surut untuk terus mengkampanyekan bahwa tradisi membaca harus dipupuk sejak dini. Baik itu membaca buku maupun koran toh keduanya merupakan bahan bacaan yang praktis. Tidak ada orang mati karena membaca buku. Justru kematian banyak terjadi karena minuman keras. Jadi orang Indonesia lebih tertarik mati karena miras daripada berlelah-lelah membaca buku, katanya.[]

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan