Langsung ke konten utama

Berumah di Lapak Baca Tulis (4)




Woks

Buku ini aku pinjam,
'Kan ku tulis sajak indah
Hanya untukmu seorang,
Tentang mimpi-mimpi malam

Mungkin kita pernah mendengar lagu legendaris milik Bung Iwan Fals tersebut. Lagu yang dirilis sekitar tahun 80an itu menjadi khas tersendiri. Mungkin kita hanya bisa menduga bahwa Bung Iwan memang tidak bisa jauh dari buku. Perjalanan karier dan bermusiknya yang berliku seolah membuka mata kita apa dan bagaimana. Barangkali buku bagian dari hal tak terpisahkan dari Bung Iwan.

Bung Iwan adalah satu dari sekian musisi besar Indonesia yang tidak menafikan betapa pentingnya buku. Baik itu buku bacaan maupun buku tulis. Andai tidak ada buku mungkin saja lagu-lagu hits Bung Iwan, Ebit G Ade hingga Gombloh tak akan pernah terlahir. Buku adalah sejarah yang membuka masa depan. Karena bagaimanapun juga dunia dikenal di dalam buku.

Bung Iwan sejak dulu adalah seorang pengamen yang menjajakan lagu-lagu di kota Bandung. Bagi aktivis literasi bukan lagu seperti Bung Iwan melainkan buku-buku dari satu tempat ke tempat lain. Kita tahu ruang terbuka hijau hingga trotoar menjadi ladang bagi para aktivis untuk ngelapak. Bagi mereka buku adalah sebuah benda yang berfungsi untuk mengubah pola pikir. Maka dari itu bagaimana pun caranya buku harus didekatkan kepada masyarakat.

Kita meninggalkan sejenak Bung Iwan dan lagu-lagunya itu. Kini kita melihat bagaimana para aktivis literasi membangun lapak baca tulis di tengah gempuran digitalisasi media yang masif. Beberapa di antara mereka ngamen dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mengenalkan buku. Mereka tidak jualan buku. Mereka hanya ingin buku dibaca, sesederhana itu. Maka dari itu saat penyerahan jabatan duta baca dari Najwa Shihab ke Gol A Gong beliau mengatakan bahwa yang kurang dari hari kemarin, kita belum menyentuh akar rumput.

Maka dari itu melihat ada orang yang mau ngelapak buku di era saat ini sungguh luar biasa. Orang ngelapak buku tidak ada bayarannya. Mereka ikhlas sepenuh hati berdedikasi untuk negeri. Bermodalkan sebuah tikar lusuh atau banner tak terpakai mereka meramaikan seisi lapangan dengan beragam jenis buku. Kadang pertunjukan nyanyian, dongeng, berkisah, memainkan wayang, hingga fun game disulap hanya untuk menarik perhatian. Dan ternyata dari beragam upaya itu anak-anak lah yang paling tertarik.

Tidak hanya lewat lapak. Bahkan saking pedulinya dengan bacaan banyak di antara kita yang menyulap becak, sepeda tua, gerobak bakso hingga odong-odong terdapat buku. Bagi mereka buku dan anak tak terpisahkan. Mungkin hal itu sudah bagian dari jalan hidup yang ingin terus dilewati.

Kita ingat kisah Kang Maman (notulen) yang pernah ngelapak di sebuah daerah terpencil. Ia bersama kawan-kawan menjajakan buku berharap ada orang yang mau membaca. Waktu berjam-jam berlalu di taman alun-alun kecil desa tersebut ternyata usahanya tak membuahkan hasil. Ia marah, ia kecewa. Ternyata tidak, Kang Maman justru senyum semringah. Di antara ratusan orang mondar-mandir di depan lapak bacanya ternyata masih ada satu anak kecil usia 5 tahun tertarik mau dibacakan dongeng oleh ayahnya.

Barangkali demikianlah kisahnya atau suka duka menjadi aktivis literasi. Mungkin saja dalam proses itu kita tidak bisa menarik 1000 orang tapi satu orang saja sudah membuat kita bahagia. Pengalaman itulah yang juga pernah saya alami ketika di aloon-aloon Tulungagung, lapangan desa Bangoan, serta lapangan kecamatan Haurgeulis. Sungguh bagaimanapun juga semua memiliki tantangan tersendiri dan kita tak boleh menyerah.

Bisa saja lapak baca suatu hari akan mati. Akan tetapi selama masih ada harapan kita serasa hidup 1000 tahun lagi. Memang di manapun juga yang membuat kita hidup adalah harapan. Selama masih ada harapan kita akan terus berupaya untuk menebar pemahaman bahwa membaca itu penting. Membaca itu luar biasa. Jika membaca tidak penting untuk apa wahyu Tuhan pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqra. Mari kita berpikir sejenak tentang arti sebuah "baca".[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan