Langsung ke konten utama

Catatan 30/S dan Ketakutan Simbolik




Woks

Simbolik fobia kini telah menjalar ke setiap orang lebih lagi memasuki akhir bulan September. Berkaitan dengan simbolik fobia kini orang telah mengalami ketakutan atau traumatik akut akan simbol. Simbol yang dimaksud tentu palu dan arit. Padahal jika simbol palu arit dimaknai sebagai perkakas biasa tentu akan biasa saja. Palu sebagai alat untuk memukul sekaligus mencabut paku sedangkan arit alat untuk memotong rumput atau padi. Seharusnya kita belajar dari Gus Dur yang menganggap bendera Bintang Kejora sebagai umbul-umbul biasa. Akan tetapi kata beliau selama merah putih berkibar lebih tinggi tentu tak masalah.

Salah satu hal menarik selain isu-isu gorengan tak bermutu yang bersliweran di medsos, akhir September pasti banyak yang menyelenggarakan nonton bareng film PKI. Rerata konsumsi film mereka adalah garapan sutradara Arifin C. Noer dan bagi sebagian kritikus film itu hanya akal-akalan orde baru. Tapi pertanyaan mendasarnya untuk apa nobar film PKI itu dilakukan dan terus diselenggarakan tiap tahun tanpa pernah ada tawaran refleksi kritis di dalamnya?

Menurut saya keputusan untuk mengkonsumsi film PKI adalah kesalahan. Karena dengan terus-terusan nonton bareng film PKI berarti sama dengan memperpanjang serta mewarisi dosa masa lalu. Mereka para penonton terlebih anak-anak justru secara tidak langsung diajari menjadi pembenci daripada kecenderungan mencintai. Sejak dulu sejarah dunia tidak terlepas dari tragedi peperangan dan tumbal dari revolusi adalah darah. Akan tetapi dalam Islam perang atau qital tak lain sebagai upaya defense itu pun karena diusik dahulu. Seandainya dunia tanpa musuh barangkali Islam tak akan mengenal apa itu perang. Seperti halnya serial Naruto bahwa peperangan hanya menyisakan luka derita. Maka dari itu perdamaian selalu ingin kita wujudkan salah satunya dengan cara saling memaafkan. Kata Gus Dur maaf mungkin tidak menyembuhkan luka akan tetapi dengan maaf bisa membuka pintu masa depan. Di sinilah pentingnya rekonsiliasi dalam upaya perdamaian.

Entah logika macam apa yang digunakan oleh orang-orang untuk nobar film PKI. Seharusnya mereka hanya perlu mengambil jarak bahwa hal itu adalah bagian dari masa lalu. Menurut saya kita harusnya belajar lagi pada Gus Dur bahwa maafkan oke akan tetapi melupakan hal itu sebagai dosa berdarah yang dialami oleh yang di alamatkan pada partai komunis tentu sah saja. Atau lebih sederhananya maafkan iya, setidaknya memaafkan adalah sikap ksatria tapi tidak melupakan hal itu sebagai sebuah kebenaran tentu nanti dulu.

Seharusnya kita belajar dari pemerintahan Jepang di mana mereka memberi tahu akan kekalahan tentaranya pada peristiwa Hiroshima dan Nagasaki setelah anak-anak usia SMA. Dengan begitu Jepang tidak memiliki rumus kekalahan. Sehingga bangsa Jepang selalu bangkit dan tidak mau terjerembab dengan tragedi masa lalu yang memilukan. Di sinilah kita belajar bersikap arif dan bijak sekalipun hal itu pada tragedi memilukan. Terutama di dunia pendidikan hal itu bagaimana menjadi sebuah filter agar anak didik tidak mewarisi api kebencian.

Masyarakat atau secara khusus peserta didik seharusnya dijauhkan dari sikap nekrofil alias kecenderungan membunuh, menyakiti, membenci dan lainya. Seharusnya mereka didekatkan dengan sikap biofil atau kecenderungan mencintai, merawat, membantu, memberi dan menginspirasi. Sikap itulah yang sudah digali sejak lama oleh ahli psikologi Carl Gustav Jung dalam penelitiannya. Hal-hal yang bersifat positif itulah yang daripada nobar film PKI lebih baik diwujudkan dengan nobar misalnya film heroiknya syuhada santri pada peristiwa 10 November, cerdasnya Bung Karno, sang pejuang tanah rencong Cut Nyak Dien, diplomat ulung KH Agus Salim, negarawan sejati Bung Hatta, inspiratif nya BJ. Habibie, alim alamahnya Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan serta film lainnya di luar film PKI.

Dari sanalah seharusnya kita berpikir dengan jernih bahwa simbol itu tak perlu ditakuti. Yang terpenting bagaimana esensinya bisa kita petik sebagai pelajaran hidup. Jangan sampai cuma karena simbol palu arit kita phobia tak terkendali. Padahal selain palu arit kita kenal dengan simbol "A" anarko, segitiga mata satu "iluminati" lantas apakah kita hanya mau dikotak-kotakan oleh sesuatu yang justru membuang waktu dan energi. Daripada disibukkan dengan simbol lebih baik kita move on bagaimana melahirkan kesadaran kritis ilmiah untuk menyikapi sesuatu yang selalu diributkan setiap tanggal 30 September. Tabik

the woks institute l rumah peradaban 30/9/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...