Langsung ke konten utama

Last Jagongan bersama Nyai Anik Farida




Woks

Dua hari sebelum saya meninggalkan sekolah di SD Islam Al Azhaar Tulungagung. Barangkali jagongan seru bersama Nyai Anik menjadi pertanda sekaligus petuah hidup bagi saya. Barangkali hal itu merupakan aspek alamiah antara seorang anak dengan ibunya. Jagongan kali ini nampak berbobot karena berbicara banyak hal terutama seputar hakikat hidup.

Secara jujur saya memang belum mengenal Nyai Anik secara mendalam. Yang jelas ketersambungan sanad dan nasab beliau dengan Syeikh Abdul Jalil Mustaqim menjadikan saya selalu terkesima dengan apa yang disampaikannya. Kali ini beliau menyampaikan banyak hal sebagai sangu untuk saya selepas berpamitan nanti. Beberapa hal itu di antaranya:

Persoalan gaji dalam sebuah lembaga atau instansi memang sawang-sinawang atau tidak bisa diprediksi lebih tepatnya penuh misteri. Beliau menerangkan bahwa bisa jadi rezeki yang banyak tapi tidak berkah tapi rezeki yang sedikit justru tak jua habis. Persoalan rezeki antara perempuan dan laki-laki memang berbeda bahkan bisa saja tak pernah cukup. Mungkin itulah sifat asli manusia. Akan tetapi hal itu juga bisa disikapi oleh pribadi masing-masing.

Beliau juga berpesan pada saya sesuai dawuh dari Romo Yai Jalil bahwa untuk menentukan sesuatu itu ojo kesusu alias jangan tergesa-gesa. Karena kadang-kadang yang tergesa-gesa itu tak lain merupakan dorongan nafsu bukan hati nurani. Maka dari berhati-hatilah dalam menentukan sebuah keputusan. Selanjutnya ojo meri alias jangan iri hati. Apalagi iri terhadap sesuatu yang materil misalnya kekayaan, pangkat jabatan atau lainnya. Irilah dengan kebaikan orang lain yang berharap kita bisa mengikuti jejak langkahnya. Terakhir adalah ojo thulul amal atau panjang angan-angan. Dalam kitab pun banyak dijelaskan bahwa panjang angan-angan itu merupakan penyakit hati.

Orang yang masih memikirkan besok jadi apa, makan apa trus bagaimana inilah yang bisa menjauhkan dari raja' (berharap) kepada Allah. Maka dari itu jika kita bepergian menimba ilmu tak usah khawatir besok jadi apa, lakukan saja yang terbaik. Beliau juga berpesan dari Abahnya jika kuliah jangan berniat mencari jabatan melainkan lillahi taala.

Selain bicara tentang hal itu beliau juga cerita tentang Syeikh Abdul Jalil Mustaqim. Dulu Abahnya Nyai Anik punya teman namanya Pak Maskun. Dia adalah seorang kejawen akan tetapi suatu ketika beliau diminta untuk nyuwuk Romo Yai Jalil. Ketika Romo Yai membuka mulutnya tiba-tiba Pak Maskun terkaget-kaget karena beliau melihat bola dunia dari dalam mulut Romo Yai. Seketika itu juga beliau langsung menyatakan diri sebagai murid.

Kata Nyai Anik dari suami beliau bahwa memandang guru mursyid itu tidak bisa disamakan dengan guru lainya. Kadang di hati muriddin sering timbul keraguan mengenai amaliyah ubudiyah keseharian beliau. Akan tetapi seiring berjalannya waktu ada saja jawaban yang tak terduga misalnya mengapa seorang mursyid merokok begitu banyak sehingga menimbulkan tanya. Ketika dijawab lebih baik ngrokok daripada memikirkan aib orang lain. Rokok itu hifdzul lisan, ngerekso lisan sedangkan orang yang selalu mencari kesalahan orang lain justru jauh dari salamatul qalb.

Selanjutnya jika guru mursyid berpenampilan nyeleng maka para murid tak usah mengikutinya. Kita belum sampai ke maqam tersebut, misalnya sang guru berambut gondrong berkucit itu secara dhohir tapi batin beliau selalu mengucit hatinya dari iri dengki pada orang lain atau lalai kepada Allah. Selanjutnya memfungsikan dzikir itu luar biasa. Karena dzikir adalah cara tercepat untuk wushul kepada Allah. Semakin banyak orang berdzikir semakin mereka fana, menyatu dengan kekasihnya.

Beliau pun menutup jagongan ini dengan pesan menyentuh untuk saya yaitu di mana pun tempatnya berpasrahlah pada Allah dan tetap semangat berjuang. Karena bagaimanapun juga semua sudah ada porsinya masing-masing dalam kehidupan.

the woks institute l rumah peradaban 29/9/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan