Langsung ke konten utama

Mengingat Guru Ngaji di Kampung Halaman




Woks

Masih ingatkah kita dengan orang-orang yang berjasa di masa kecil terutama soal mengaji. Tentu harusnya wajib bahwa mengingat guru itu keharusan sekalipun dulu jasa mereka terasa sepele. Mengingat guru lebih utama termasuk mendo'akannya. Kata bijak bestari guru lupa murid itu wajar karena saking banyaknya akan tetapi murid yang lupa gurunya itu sungguh keterlaluan.

Lewat tulisan kecil ini saya mengingat guru ngaji kami di waktu kecil betapa jasa mereka sangat besar. Waktu itu saya ngaji di langgar depan rumah namanya Mushola Al Hikmah BBT Mekarjaya. Ngaji iqra pertama saya tentu dengan bapak ketika beliau di rumah selepas magrib. Bapak mengajari saya tentang huruf hijaiyah dan hukum-hukumnya. Saat menerangkan beliau menggunakan kapur dan papan tulis di dinding batu bata. Walaupun demikian akan tetapi tulisan bapak bisa saya pahami karena memang tulisan beliau itu nyeni alias bagus. Bahkan beberapakali bapak selalu menggambar berbagai bentuk hewan dan bunga di dinding.

Tapi sayang mengaji dengan bapak tidak berlangsung lama. Saya tidak tertarik dengan cara pengajaran beliau yang cepat dan tegas. Sehingga penerimaan saya saat itu bapak itu galak, maka saya pun mogok untuk mengaji. Akhirnya singkat kata saya diperintah untuk ngaji ke guru lain oleh bapak. Di sore yang sejuk nampaknya saya tertarik dengan A Sama', seorang pemuda sederhana putra dari Bapak Rasyim dan Mimi Tulus yang tak lain juga murid bapak.

Ngaji dengan A Sama' tidak jauh berbeda dengan lainnya. Hanya saja beliau yang telaten membuat para santri betah dan tentunya semangat dalam mengaji. Mengaji dengan beliau waktunya setelah asyar hingga jam 5 sore. Pengajian dimulai dengan shalat Ashar berjamaah lalu membaca do'a pembuka pengajian. Do'a tersebut adalah perpaduan antara bahasa Arab dan Jawa. Setelah itu kami ngaji satu persatu. Biasanya jika santri membludak jumlahnya maka ngaji iqra tersebut akan diarahkan ke santri senior dulu seingat saya, diarahkan ke A Daryana. A Daryana selain juga membantu A Sama' ia adalah seorang muadzin di Mushola Al Hikmah tersebut dan kebetulan masih saudara dengan saya.

Sangat disayangkan pengajian bersama A Sama' harus berakhir karena banyak santri yang sudah lulus sekolah umum. Ditambah lagi A Sama' sebagai gurunya harus hijrah ke kota untuk bekerja. Bahkan hingga saat ini A Sama' masih di kota Bekasi bersama istri dan 3 anaknya. Singkat cerita saya ngaji bersama bapak lagi dan itu yang selalu saya hindari. Ngaji bersama bapak bawaanya penuh dengan ketakutan karena seperti di awal bahwa bapak itu tegas keras.

Mungkin bapak menyadari bahwa metodenya itu tidak tepat bagi anak seperti saya yang mudah baper. Akhirnya saya pun mengaji bersama A Asep salah seorang teman dari A Daryana. Pada saat itu A Daryana sudah pindah dari BBT menuju Balir jadi A Asep adalah pilihan baru saya untuk mengaji. Setiap ngaji dengan A Asep setelah magrib saya selalu berdo'a supaya beliau hadir terus karena jika tidak saya akan ngaji bersama bapak. Momen ketika A Asep tidak hadir misalnya hujan deras atau mati lampu adalah waktu paling menyiksa buat saya. Pasalnya saya pasti akan mengaji bersama bapak. Anda tau jika saya ngaji dengan bapak ada saja penghapus kayu, sapu lidi atau tangan bapak yang melayang ke tangan atau wajah saya. Ngaji dengan bapak itu memang ekstrim maka dari itu saya lebih nyaman dengan orang lain.

Singkat cerita saya pun akhirnya bisa membaca al Qur'an sedikit-sedikit. A Asep pun sama yaitu mengikuti jejak A Sama' bekerja ke kota bahkan saya tidak ingat kapan kami berpisah dan hingga tulisan ini saya buat belum juga bertemu dengan A Asep. Saya pernah bertemu ibu beliau satu kali katanya A Asep sudah memiliki dua orang anak dan mendengar kabar itu saya turut senang bahagia. Setelah saya masuk MTs pengajian berlanjut bersama dengan A Wahid tak lain adalah putra bapak Lebe Sutarno termasuk juga dengan A Yudi walaupun hanya sebentar.

Setelah itu saya mondok di MTs Nurul Hikmah Gantar. Di sanalah penempaan yang lumayan mendalam saya lakoni. Di sana saya mengaji dengan Ustadz Hayadi tidak hanya ilmu Al Qur'an akan tetapi juga kitab kuning. Bersama beliau kitab-kitab seperti Safinahtun Najah, Taqrib, Ta'lim Muta'allim, Arbain Nawawi hingga beberapa kitab lain. Pernah juga saya ngaji bersama Ustadz Zakariya yaitu kitab Qothrul Ghois dan Sullam Taufiq. Bersama Ustadz Kusnata kitab Tanqihul Qoul dan Syarh Abi Jamroh. Pernah juga bersama Ustadz Nana Nurrohman ngaji Jurumiyah, Ustadz Hariri yaitu kitab Akhlak Lil Banin dan Kaifiyah Tajwid. Serta banyak lagi guru saya lainya seperti Ustadz Misbahuddin, Ustadz Awin, Ustadz Dasan dan Ustadz Agus. Terakhir saya juga pernah ngaji kepada Ustadz Suwarno Hadinata yaitu pelajaran qiro alias seni membaca Al Qur'an. Kebetulan putra beliau Hadi juga seangkatan dengan saya dan Ustadz Suwarno mengambil ilmu langsung dengan KH. Muammar ZA ketika beliau kerja di Tangerang.

Mengingat jasa-jasa mereka yang luar biasa saya kadang hanya bisa merenung. Kadang di saat-saat sendiri saya hanya bisa mengirimkan fatihah dan do'a terbaik buat mereka. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi yang jelas saya berhutang budi kepada mereka. Beliau-beliau telah ikhlas, sabar dan tekun dalam mendidik anak didiknya. Semoga saja tulisan ini terus mengingatkan saya khususnya agar tidak melupakan jasa-jasa mereka. Terakhir saya berdo'a kepada Allah semoga guru-guru kami tersebut selalu dalam lindungannya dan diberkahi tiap langkahnya.

the woks institute l rumah peradaban 6/9/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan