Woks
Mendengar banyak toko buku yang berguguran nampaknya menggugah hati ini untuk segera mengevaluasi diri. Toko buku sebagai supplier pengetahuan setelah perpustakaan justru pamit gulung tikar. Bagi kita yang mencintai buku mendengar kabar tersebut pasti akan merasa kehilangan. Apalagi toko buku yang sejak kita kecil melewati hari-hari dalam pusaran zaman nan cepat punya sejarah sekaligus kenangan.
Saya mungkin bukan konsumen tetap toko buku yang saban gajian menyisihkan uang untuk membeli buku. Akan tetapi saya telah berkomitmen untuk membeli buku ketika book fair atau bazar buku hadir di kota. Sebagai mahasiswa kere tentu saya pernah berkunjung ke toko buku untuk melihat ada koleksi buku baru. Di toko buku tentu akan sangat menarik kala saya mengimajinasikan bahwa di antara tumpukan sumber pengetahuan tersebut saya berada di sana. Entah sebagai pekerja atau justru sebagai pemilik toko buku tersebut.
Dalam sejarah hingga saat ini beberapa toko buku yang pernah saya jajaki yaitu TB. Toga Mas yang ada di barat BCA pusat sekitar pertokoan Tulungagung. Saya juga pernah ke TB. Salemba yang ada percis di belakang Masjid Agung Al Munawwar Tulungagung. Saya juga pernah ke TB. Satelit yang berada di depan RS. Bhayangkara Tulungagung, salah satu toko buku lawas yang koleksinya bertumpuk-tumpuk. TB dan kitab Al Hidayah di depan Pasar Kalangbret, TB dan kitab PP. Panggung Tulungagung. Untuk luar kota mungkin saya pernah ke TB depan Yazid Center Pare Kediri, Gramedia Malang, toko buku di sekitaran Taman Pintar Jogjakarta dan TB/percetakan Khalista Surabaya. Mungkin pengalaman itu pada akhir masa akan menyisakan kenangan tersendiri.
Saya mungkin tidak seberuntung Muthia Esfand seorang traveler, sekaligus penulis buku "Dari Toko Buku ke Toko Buku". Ia telah banyak mengunjungi toko buku dan perpustakaan yang ada di belahan dunia. Maka pantaslah dalam perjalanan berkunjung ke toko buku tersebut Muthia menuangkannya dalam sebuah buku tersebut. Walaupun demikian saya tidak pernah rugi bisa berkenalan dengan buku dan tokonya. Buku bagi saya adalah bagian dari hidup yang sebagian besar membentuk peta pemikiran. Lebih lagi saat berkunjung ke toko buku harum baunya yang khas lebih nikmati dari semerbak penjual sate atau kuah soto.
Sebenarnya jika mau berkesadaran bahwa toko buku itu tidak sekadar bisnis melainkan juga bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa. Misalnya beberapa kali toko buku menggelar event lomba, seminar literasi, pameran, workshop kepenulisan, memberikan reward, memberikan diskon dan tentunya give away lainnya. Toko buku adalah usaha komplit selain menjual buku tentu bisa sebagai kegiatan sosial.
Lantas mengapa saban hari toko buku pamit undur diri? apa faktor penyebabnya. Salah satu yang ironis adalah toko buku sekitar kampus justru pamit lebih awal. Padahal jika dilogika buku bacaan merupakan kebutuhan wajib mahasiswa selain laptop dan gadget. Beberapa faktor mengapa toko buku kalah dalam percaturan bisnis di era saat ini. Pertama, toko buku melawan keniscayaan yaitu proses digitalisasi yang tak terbendung. Keberadaan e-book atau buku digital juga menjadi penyebab mengapa toko buku sulit keluar dari zona nyaman. Ditambah keberadaan buku bajakan juga semakin merusak keadaan pasar.
Kedua, minat baca yang semakin menurun serta kemudahan akses internet menjadi pelengkap mengapa buku dalam bentuk fisik kalah dalam persaingan. Saat ini segala kemudahan di internet menjadi penyebab buku bukan pilihan, kendati secara marketing buku dijual dengan cara online. Toko buku dengan lapak serta ruko yang mengontrak belum lagi membayar karyawan sedangkan jumlah permintaan sepi maka pantaslah jika kini semakin ditinggalkan. Belum lagi serangkaian inovasi adaptif tidak dijalankan maksimal oleh toko buku. Mereka hanya menjadi penjual dan tentu sangat berbeda dengan oplah penerbit, percetakan sekaligus penjualan.
Ketiga, keberadaan buku yang sulit dijangkau karena tidak melihat pasar bisa juga jadi sebab. Ditambah lagi harga buku yang tidak terjangkau oleh masyarakat melengkapi derita untuk bersiap dijauhi pembacanya. Masih sangat sedikit pembaca rakus kita temui yang membeli buku tanpa mempertimbangkan harga. Selain itu masyarakat kita bukan tipe pembaca sekaligus belum menganggap buku sebagai kebutuhan utama. Bagi masyarakat makan lebih penting daripada buku yang suatu saat tertumpuk di kamar. Paling sesekali menjadi perjamuan tikus-tikus. Nampaknya ketiga faktor itu menjadi prediksi riil di mana toko buku yang tidak adaptif terhadap perubahan akan segera tumbang.
Dari beberapa faktor tersebut hal yang selalu saya khawatirkan hanya satu yaitu harga buku. Maka pantaslah kami sebagai pecinta buku kere memiliki guyonan, "kita selamanya akan mencintai buku tapi tidak pada harganya". Ini baru soal harga buku bagaimana jika setiap toko buku di Indonesia memiliki tradisi seperti di Jepang yaitu "Tachiyomi" atau sebuah tradisi membaca di toko buku tanpa harus membelinya. Mungkin jika hal itu terjadi Indonesia akan melaju pesat dalam hal peradaban sekaligus melahirkan polemik baru toko buku tak pernah ada.[]
Komentar
Posting Komentar