Woks
Saya pernah memiliki pengalaman berkegiatan di taman baca masyarakat (TBM) milik Bunda Tjut Zakiya Anshari Bangoan Tulungagung. Beliau merupakan sosok perempuan luar biasa yang tentunya mengilhami kami untuk terus bergerak. Saat di sanggar kepenulisan itulah beliau memotivasi kami agar terus memberi pencerahan kepada masyarakat seputar dunia literasi. Masyarakat masih awam apa itu literasi bahkan mereka hanya tahu soal terasi buat masakan.
Mengelola taman baca memang memiliki tantangan tersendiri. Kata beliau bukan hanya pendakwah seorang aktivis literasi pun memiliki tantangannya tersendiri dalam mensosialisasikan manfaat membaca. Lantas bagaimana masyarakat terutama anak-anak agar mereka tertarik untuk membaca buku. Akhirnya beberapa kali kami membuat program yang asyik buat mereka. Karena TBM berfungsi sebagai jantungnya pengetahuan maka bagaimana caranya agar buku bisa terbuka dan memberi manfaat bagi banyak orang.
Persoalan minat baca menuju gemar baca memang terus digalakan terutama lewat TBM. Dari TBM lah kita para relawan terus mempromosikan betapa masyarakat harus merubah mindset dalam memposisikan bacaan. Selama ini baca buku belum menjadi tradisi yang baik. Sehingga persoalan dekadensi moral tidak teratasi. Coba jika setiap orang melek literasi dengan banyak membaca pasti mereka sadar bahwa tingkat kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh budayanya salah satunya adalah membaca.
Jika orang kehilangan tradisi membaca maka yang ada hanya melahirkan curiga. Misalnya paling sering yaitu jika TBM itu berdiri dari mana dananya. Pasti kecurigaan itu selalu terlahir Padahal kadangkala jika kita mau open minded dan berbaik sangka bahwa ada TBM yang mendanai sendiri di setiap kegiatannya. Bisa jadi TBM tersebut bergerak dari kemurahan hati perusahan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) atau donasi para filantropi kita tak pernah tahu. Akan tetapi pada masanya TBM memang bergerak sendiri terutama dalam mengelola kegiatan. Hanya saja soal buku mereka kadang mendapatkan bantuan dari pemerintah.
TBM yang bergerak di masyarakat dalam kegiatannya sangat fleksibel dan kultural. Mereka bergerak dengan fasilitas seadanya dan kadang dibantu oleh beberapa volunteer. Di TBM tidak hanya membaca tapi bisa berkegiatan asyik misalnya mendongeng, membuat boneka jari, mewarna, membuat anyaman, hasta karya dari barang bekas, berpuisi, public speaking, hingga menari dan menyanyi. Sebenarnya jika ingin mendekatkan diri dengan anak TBM salah satu kunci jitunya. Apalagi di saat gadget mengalihkan semua TBM bisa menjadi alternatif anak untuk dibina dalam memanfaatkan gawai tersebut.
Sebenarnya fungsi TBM sesuai namanya yaitu taman, jadi anak-anak justru bisa lebih mengeksplorasi bakat minatnya di sana. Konsep TBM sebenarnya mengadopsi seperti halnya Plato Aristoteles menciptakan Lyceum atau Ki Hadjar dengan Taman Siswa-nya. Di TBM barangkali mereka bisa berdebat apa saja karena tidak ada kurikulum baku. Di sana anak justru bisa berdiskusi lebih dengan kawanya termasuk membaca buku secara eksploratif, mengimajinasikan dan mempraktekkan. TBM adalah paket lengkap yang sejatinya bergantung dengan spirit pengelola. Jika pengelola TBM memiliki daya juang tinggi mereka akan melakukan banyak hal demi kegiatan berjalan dengan baik.
Saya mendapat cerita dari Kang Maman Notulen saat beliau diundang di Cafe Basa-basi. Kata beliau bahkan saking inginnya anak-anak dapat membaca salah satu TBM di Papua mengadakan mandiri berkarya. Jadi anak-anak di sana yang mau membaca dan berkarya dalam bentuk apapun akan mendapatkan reward. Dengan begitu orang tua mereka senang dan menyuruh anaknya bermain di TBM. Konsep reward barangkali sederhana tapi bagi anak dampaknya luar biasa.
Sekarang kita sudah tau betapa manfaatnya TBM. Maka dari andai saja kita masih banyak kesempatan rasanya ingin berkontribusi kepada negara dengan mengabdikan diri membangun masyarakat, salah satunya lewat TBM. Anak-anak perlu terus dimotivasi untuk meraih cita-cita lebih tinggi. Karena sesungguhnya mereka adalah pewaris masa depan.[]
Komentar
Posting Komentar