Langsung ke konten utama

Berumah di Taman Baca Masyarakat (3)




Woks

Saya pernah memiliki pengalaman berkegiatan di taman baca masyarakat (TBM) milik Bunda Tjut Zakiya Anshari Bangoan Tulungagung. Beliau merupakan sosok perempuan luar biasa yang tentunya mengilhami kami untuk terus bergerak. Saat di sanggar kepenulisan itulah beliau memotivasi kami agar terus memberi pencerahan kepada masyarakat seputar dunia literasi. Masyarakat masih awam apa itu literasi bahkan mereka hanya tahu soal terasi buat masakan.

Mengelola taman baca memang memiliki tantangan tersendiri. Kata beliau bukan hanya pendakwah seorang aktivis literasi pun memiliki tantangannya tersendiri dalam mensosialisasikan manfaat membaca. Lantas bagaimana masyarakat terutama anak-anak agar mereka tertarik untuk membaca buku. Akhirnya beberapa kali kami membuat program yang asyik buat mereka. Karena TBM berfungsi sebagai jantungnya pengetahuan maka bagaimana caranya agar buku bisa terbuka dan memberi manfaat bagi banyak orang.

Persoalan minat baca menuju gemar baca memang terus digalakan terutama lewat TBM. Dari TBM lah kita para relawan terus mempromosikan betapa masyarakat harus merubah mindset dalam memposisikan bacaan. Selama ini baca buku belum menjadi tradisi yang baik. Sehingga persoalan dekadensi moral tidak teratasi. Coba jika setiap orang melek literasi dengan banyak membaca pasti mereka sadar bahwa tingkat kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh budayanya salah satunya adalah membaca.

Jika orang kehilangan tradisi membaca maka yang ada hanya melahirkan curiga. Misalnya paling sering yaitu jika TBM itu berdiri dari mana dananya. Pasti kecurigaan itu selalu terlahir Padahal kadangkala jika kita mau open minded dan berbaik sangka bahwa ada TBM yang mendanai sendiri di setiap kegiatannya. Bisa jadi TBM tersebut bergerak dari kemurahan hati perusahan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) atau donasi para filantropi kita tak pernah tahu. Akan tetapi pada masanya TBM memang bergerak sendiri terutama dalam mengelola kegiatan. Hanya saja soal buku mereka kadang mendapatkan bantuan dari pemerintah.

TBM yang bergerak di masyarakat dalam kegiatannya sangat fleksibel dan kultural. Mereka bergerak dengan fasilitas seadanya dan kadang dibantu oleh beberapa volunteer. Di TBM tidak hanya membaca tapi bisa berkegiatan asyik misalnya mendongeng, membuat boneka jari, mewarna, membuat anyaman, hasta karya dari barang bekas, berpuisi, public speaking, hingga menari dan menyanyi. Sebenarnya jika ingin mendekatkan diri dengan anak TBM salah satu kunci jitunya. Apalagi di saat gadget mengalihkan semua TBM bisa menjadi alternatif anak untuk dibina dalam memanfaatkan gawai tersebut.

Sebenarnya fungsi TBM sesuai namanya yaitu taman, jadi anak-anak justru bisa lebih mengeksplorasi bakat minatnya di sana. Konsep TBM sebenarnya mengadopsi seperti halnya Plato Aristoteles menciptakan Lyceum atau Ki Hadjar dengan Taman Siswa-nya. Di TBM barangkali mereka bisa berdebat apa saja karena tidak ada kurikulum baku. Di sana anak justru bisa berdiskusi lebih dengan kawanya termasuk membaca buku secara eksploratif, mengimajinasikan dan mempraktekkan. TBM adalah paket lengkap yang sejatinya bergantung dengan spirit pengelola. Jika pengelola TBM memiliki daya juang tinggi mereka akan melakukan banyak hal demi kegiatan berjalan dengan baik.

Saya mendapat cerita dari Kang Maman Notulen saat beliau diundang di Cafe Basa-basi. Kata beliau bahkan saking inginnya anak-anak dapat membaca salah satu TBM di Papua mengadakan mandiri berkarya. Jadi anak-anak di sana yang mau membaca dan berkarya dalam bentuk apapun akan mendapatkan reward. Dengan begitu orang tua mereka senang dan menyuruh anaknya bermain di TBM. Konsep reward barangkali sederhana tapi bagi anak dampaknya luar biasa.

Sekarang kita sudah tau betapa manfaatnya TBM. Maka dari andai saja kita masih banyak kesempatan rasanya ingin berkontribusi kepada negara dengan mengabdikan diri membangun masyarakat, salah satunya lewat TBM. Anak-anak perlu terus dimotivasi untuk meraih cita-cita lebih tinggi. Karena sesungguhnya mereka adalah pewaris masa depan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan