Langsung ke konten utama

Stadium General bersama Abah Sholeh




Woks

Tulungagung- Pada 26 September 2022 tepat ba'da shalat isya para santri PPHS berkumpul di aula utama. Perkumpulan tersebut adalah dalam rangka mendengarkan orasi dari pengasuh alias petuah-petuah. Alhamdulillah acara yang dihadiri sekitar 30 lebih santri berjalan dengan lancar termasuk ditutup dengan penyampaian dan evaluasi harian. Adapun Abah Sholeh menyampaikan petuahnya kepada para santri khususnya santri baru di antaranya:

Jika di pondok itu kalau tidak sakit keras atau tidak ada sesuatu yang mendesak usahakan jamaah. Karena shalat berjamaah itu besar keutamaannya. Bahkan jika ingin melihat orang Islam selain salam maka shalat jamaahlah indikator utamanya. Jangan sampai di pondok kehilangan shalat jamaah, itu sangatlah merugi. Padahal wasilah shalat berjamaah kita bisa dimudahkan rezeki dan ilmunya atau juga melancarkan ketika menulis tugas akhir.

Beliau juga berdoa di awal semoga para santri selalu berbahagia. Sedangkan salah satu cara agar bahagia adalah manut atau menurut dengan pondok. Jika ada peraturan jangan dilanggar, jika ada kesepakatan dilaksanakan. Insyaallah dengan begitu santri tidak akan jauh dari relnya. Beliau juga berpesan percis saat pertemuan awal agar para santri rajin belajar, mutholaah, praktek ibadah ubudiyah. Apa yang dibutuhkan dipelajari dan jangan sampai kalah dengan ngopi. Ngopi boleh saja asalkan mengerti waktu dan keadaan.




Orang tua menitipkan kita di pondok tak lain agar anaknya berguna. Sehingga jangan ada anggapan untuk mencari barokah bahkan ilmu laduni tapi tidak melakukan apapun. Beliau menukil bait ke-72 dari Alfiyah ibn Malik و في لدني لدني قل... bahwa ilmu laduni itu tidak ada. Kendati Imam Ghazali memiliki kitab Risalah Laduniyyah, akan mendapatkan ilmu itu disangkal jika seorang santri hanya berpangku tangan tanpa ada upaya belajar.

Apalagi seorang santri sekaligus mahasiswa itu di masyarakat sangat dielu-elukan akan perannya. Maka dari itu jangan sampai kecewakan orang tua di rumah yang sudah mempercayakan hartanya pada kita. Maka dari itu sedari dini kita terus menata niat, introspeksi diri untuk selalu melaksanakan amanat orang tua. Selama masih di pondok belajar lah yang sungguh-sungguh seperti aurad yasin tahlil, istigatsah, berjanzen, muraqi dll. Amaliyah itulah yang pastinya akan berguna di masyarakat.

Kata beliau guru mendoakan muridnya itu wajib. Akan tetapi wajibnya itu juga harus diimbangi dengan usaha baik dhohiron wa batinan. Mumpung masih dalam tahap belajar jangan sampai rugi waktu, ingat sregep jamaah dan membagi waktu. Apa yang didawuhkan Abah Sholeh sebenarnya sama dengan yang telah berlalu akan tepi kita ingat dawuh Gus Baha "saya ulangi sekali lagi" dalam setiap ngajinya. Beliau hanya ingin santrinya ingat terus bahwa pesan yang diulang-ulang memiliki arti penting dan perlu dicermati dengan saksama.[]

the woks institute l rumah peradaban 27/9/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...