Langsung ke konten utama

Masjid Indikator Keimanan Kolektif




Woko Utoro

KH Asfiya Hamida pernah ditanya, "Adakah indikator keimanan kolektif, misalnya di sebuah wilayah kota atau desa. Bagaimana alat ukurnya untuk melihat keimanan orang banyak?"

Beliau menjawab, "Gampang, cukup lihat masjid/musholanya. Bagaimana cara mereka memakmurkan rumah Allah tersebut. إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ

Apa yang disampaikan Kiai Asfiya tersebut memang menarik. Pasalnya untuk mengetahui tingkat keimanan individu tentu sangat subjektif sekali. Bisa jadi orang yang hidup di balik jubah dengan jidat hitam tidak lebih beriman dari mereka yang lusuh di pinggir jalan. Atau belum tentu juga keimanan bertingkat cuma karena memiliki harta berlimpah. Bisa saja orang yang hidup di gubug reot dengan makan seadanya justru keimanannya tinggi di sisi Allah. Sehingga materi tidak menjamin keimanan kita di sisiNya.

Maka dari itu keimanan kolektif atau berkelompok bisa dideteksi berdasarkan tempat ibadah. Sesuai apa yang telah disampaikan oleh Kiai Asfiya dalam surah At Taubah ayat 18. Jika kita ingin melihat keimanan kolektif bisa disaksikan saat Ramadan tiba. Hampir seluruh masjid mushola akan bersolek dan pastinya ramai. Keramaian tersebut tidak hanya bagi orang ibadah, orang berniaga pun tak kalah ramainya.

Semua orang nampak meningkat keimanannya saat Ramadan tiba. Mungkin salah satu faktornya adalah karena menghormati bulan mulia, adanya obral pahala ekstra besar, janji ampunan dari Allah dan dimasukkan ke dalam ahli jannah. Maka dari itu tidak aneh jika Ramadan tiba rumah ibadah seperti tengah berpesta. Hampir tiap hari speaker tak henti melantunkan pengajian, murotal Qur'an hingga syiiran. Semua nampak gempita ketika bulan mulia tiba.

Kita tentu tak bisa membayangkan jika Ramadan tak ada. Pastinya simbol keimanan manusia justru tidak naik turun. Bisa jadi turun terus dan sulit naik. Untung saja Allah berkenan memberikan Ramadan sebagai tempat kembali agar kita mengerti muasal. Ramadan sebagai stasiun tempat awal di mana manusia mengerti isi ulang keimanan. Tentu tidak hanya sekadar tempat ibadah melainkan kita sendiri sebagai hamba.

Lantas menjelang Ramadan yang tinggal hitungan hari? sudahkah kita mempersiapkan diri. Sudahkah kita puas memandang diri sendiri dengan keimanan yang compang-camping. Semoga saja Ramadan kali ini lebih berkualitas dan kita bisa menambal keimanan yang banyak bolongnya.[]

the woks institute l rumah peradaban 10/3/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...