Langsung ke konten utama

Sautik Ewang




Woko Utoro


Emak saya sering sekali jika mendapat sesuatu pasti berbagi. Baik itu pada tetangga maupun sanak saudara. Misalnya ketika panen kacang, jagung, kangkung, mangga atau nangka sebelah rumah matang beliau menyuruh saya membagi dan mengantarkan pada tetangga. Perintah tersebut sering dipesan pada saya begini, "Ieu ti Emak, sautik ewang".


Karena tetangga kami mayoritas orang Sunda maka komunikasi beliau sering pakai bahasa Sunda. Tapi kadangkala Jawa ngapak atau Betawi. Kalimat sautik ewang jika diartikan sederhana yaitu sedikit-sedikit (tapi rata). Kalimat itu juga merupakan ungkapan berbagi walaupun tidak banyak. Saya merenungi mengapa hal yang sedikit beliau bagikan. Apakah tetangga tidak tersinggung. Apakah yang sedikit itu pantas. Apakah mereka mau dengan pemberian itu? Serta ragam pertanyaan lainya.


Setelah saya renungi ternyata apa yang diajarkan Emak itu ada dasarnya. Setidaknya ada 2 hal utama dari laku sautik ewang yang diajarkan beliau. Pertama, beliau mengajarkan bahwa shodaqoh itu bisa menolak bala. Kanjeng Nabi Muhammad SAW berkata bahwa sedekah akan menghindarkan kita dari api neraka. Sedekah lah walaupun dengan sepotong kurma. Inti dari apa yang Emak lakukan senada dengan dawuh nabi. Bahwa shodaqoh itu bukan kuantitasnya (banyak atau sedikit) tapi kualitasnya.


Jika yang sedikit itu baik, layak dan bagus maka lebih terhormat daripada banyak, besar tapi busuk atau tidak layak. Kedua, beliau secara tidak langsung sedang mempraktekkan shodaqoh sirr. Yaitu shodaqoh yang tersembunyi. Shodaqoh yang justru tidak terlihat jika itu shodaqoh. Misalnya tanpa disadari kita membeli jualannya orang juga akan bernilai sedekah. Berbeda dengan memberi uang ke pengemis, mungkin bernilai sedekah tapi bisa berpotensi menghina dll.


Dari sautik ewang itulah akhirnya saya belajar dari Emak akan arti berbagi. Seberapapun tidak berharganya menurut orang lain pasti kita yakin akan bernilai menurut Allah. Emak telah mengajarkan pada saya tentang akhlak yang baik. Sedangkan puncak dari akhlak adalah taqwallah.[]


the woks institute l rumah peradaban 5/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...