Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar 11 Bondowoso : SPK dan Denyut Nadi Menulis (1)




Woko Utoro

Ketika dikabari siapa yang ingin ikut Kopdar 11 SPK di Bondowoso saya langsung antusias. Kebetulan waktu masih liburan dan tidak tabrakan dengan jadwal kerja akhirnya saya pun menjadi salah satu rombongan tersebut. Tentu ini momen langka di mana setiap kopdar SPK pusat saya kesulitan untuk meluangkan waktu. Tapi di awal Juli 2024 ini saya bisa mengikutinya. 

Bondowoso menjadi tempat kopdar ke 11 tepatnya di Ponpes Darul Istiqomah asuhan KH Masruri Abdul Muhit. Tempat ini tentu kali kedua diselenggarakan kopdar setelah dulu sekitar tahun 2020. Perihal kopdar saya hanya mendengar akan tetapi kali ini mencoba menjadi peserta. Alhamdulillah tanggal 6 Juli 2024 keinginan itu terpenuhi. Kami beserta rombongan dari Tulungagung berangkat sekitar pukul 20:30 WIB. Tiba di sana sekitar pukul 03:45 WIB. Kami pun langsung menunaikan shalat shubuh di Masjid Besar Al Ikhlas Grujugan Bondowoso. 




Setelah itu kami masuk ke Ponpes Darul Istiqomah dan langsung diarahkan menuju wisma. Di wisma ini pelayanannya prima. Petugas yang juga santri tersebut selalu siap sedia selama 24 jam non-stop. Kami langsung istirahat sejenak dan persiapan untuk sarapan pagi. Tanpa banyak waktu kami diarahkan menuju ndalem kyai untuk sarapan pagi bersama. 

Di momen ini selain kami diantar jemput dengan mobil. Kami juga menikmati hidangan sekaligus kelucuan. Ya orang-orang di sana memang humoris selalu ada saja bahan melucu. Terutama ketika saya lihat Pak Rokim supir kami tertawa tak pernah henti. Entah apa yang ditertawakan yang jelas pagi itu begitu asyik. Kami seperti tamu agung yang tersesat dari rombongan. Sampai-sampai tuan rumah begitu loyal dalam hal pelayanan. 

Setelah sarapan kami diajak foto bersama berlatar gedung Daris yang megah. Setelahnya langsung menuju gor atau ruang acara utama. Di sana para santri putra putri sudah duduk rapi dengan laptopnya. Mereka sudah siap untuk menerima materi dari Dr. Amie Primarni, M. Pd (Dosen IAIN Laa Roiba Bogor). Sayangnya narasumber pertama yaitu Prof. Chirzin berhalangan hadir termasuk pembina kami Prof. Ngainun Naim. Walaupun demikian acara tetap berjalan dan peserta begitu antusias. 

Bu Amie membawakan materi seputar menulis di era AI alias Artificial Intelligence. Lebih tepatnya bagaimana menggunakan aplikasi Chatgbt dengan bijak. Kata Bu Amie selama Chatgbt digunakan dengan baik dan tidak menyalahi aturan maka hal itu bisa memudahkan kita untuk menulis. Hanya saja tetap bahwa menulis dengan pikiran sendiri tidak bisa tergantikan. 

Singkatnya acara pun usai tepat pukul 12:00. Adzan dzuhur pun berkumandang. Tak lama kami pun langsung bersantap siang. Setelah itu shalat dan istirahat sejenak hingga pukul 13:00. Acara selanjutnya adalah kopdar atau bincang hangat seputar SPK ke depannya. Di sinilah perbincangan nampak begitu serius. Perdiskusian percis rapat-rapat DPR yang begitu formal. Hingga akhirnya melahirkan beberapa rekomendasi. Salah satunya Bu Hitta tetap sebagai ketua SPK pusat dan Mas Roni menjadi wakilnya. 

Tanpa berlama-lama, setelah diberi wejangan oleh sesepuh SPK yaitu KH Masruri Abdul Muhit akhirnya kopdar pun usai. Sekitar pukul 15:30 setelah berbincang tentang hal-hal internal SPK kami pun langsung pamit. Rombongan Tulungagung berangkat pulang dari Darul Istiqomah sekitar jam 16:30. Dari tempat yang istimewa itu kami pun pulang membawa pelajaran berharga. Sebuah pelajaran hidup akan arti istiqomah dan kesediaan untuk menjadi sahabat bagi pengetahuan. Selain itu kita juga belajar tentang arti persaudaraan. Tentang sebuah arti persatuan dalam perbedaan. 

Sepanjang perjalanan pulang tentu suasana asri dengan pohon-pohon menjadi pemandangan utama. Selain itu para pedagang tape singkong khas Bondowoso berjajar rapi bahkan hingga di sepanjang jalan Probolinggo. Tak lupa suasana magrib begitu estetik ketika kami melintasi sepanjang PLTU Paiton. Gemerlap lampu serta deru-deru mesin menjadi tak terlupakan. Begitu indah dan mempesona. 

Sampai malam dan dingin membelah laju kendaraan hingga perut kami pun keroncongan. Kami sempat mampir di rest area tol Pasuruan hingga akhirnya mampir di warung Titin Kediri. Setelah santap menu ikan laut tersebut kami pun bertolak ke Tulungagung. Tanpa terasa pukul 24:00 tepat kami tiba di kampus UIN Tulungagung. Perjalanan ini tentu sangat mengasyikkan (tapi sayang engkau tak duduk di samping ku kawan) dan banyak hal yang kita dapatkan utamanya spirit menulis untuk terus dijaga denyut nadinya. []

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...