Woko Utoro
Sejak kecil saya sudah dibiasakan oleh orang tua khususnya ibu untuk bertanggungjawab atas diri sendiri. Salah satu tanggungjawab itu adalah mencuci piring. Saya tidak tahu apa maksud ibu memberi tugas cuci piring. Awalnya saya begitu aneh bukannya cuci piring pekerjaan perempuan dan tempatnya selalu di belakang.
Setelah beranjak dewasa saya mulai menyadari bahwa cuci piring adalah pekerjaan semua tanpa memandang jender. Saya menemukan ajaran luar biasa tentang cuci piring. M. Ridwan Tri Wibowo (10/5/24) dalam tulisannya menyebutkan bahwa cuci piring adalah pekerjaan melibatkan hati, pikiran dan perasaan. Aktivitas cuci piring mampu meredam luka, membersihkan emosi negatif dan ketidakpercayaan diri.
Hal itu dibuktikan bersamaan dengan bunyi bertalu antara piring, sendok, gelas, mangkok, layah, uleg-uleg dll dengan gemericik air. Belum lagi gosokan spons bersama lembutnya sabun nan wangi menambah energi mencuci. Hanya orang yang meresapi harmoni cuci piring lah yang akan mendapatkan energi positif tersebut. Bagi orang yang kadang suka menyendiri seperti saya ternyata suara air memang mampu menenangkan pikiran (Orfeu Buxton, Live Science).
Saya makin yakin ajaran ibu memang selalu luhur bahwa dari hanya sekadar cuci piring. Saking senangnya cuci piring kadang kebablasan, piring-piring kotor di restoran atau warteg sering juga saya kumpulkan bahkan tak cuci sendiri haha. Saya paham bahwa menurut ahli dari Florida State University cuci piring dapat mengurangi stress dan emosi negatif. Itu pun jika dilakukan dengan kesadaran penuh atau mindfulness.
Jadi jelas esok atau kapanpun saya akan tetap suka cuci piring. Terlebih ketika kita bersama saling memandang antara air yang jatuh dari keran menuju selokan, menuju sungai, menuju laut, lalu kembali menjadi penghuni awan dan hujan.[]
the woks institute l rumah peradaban 1/8/24
Siipp 👍 lanjut
BalasHapusPak woko
BalasHapus