Woko Utoro
Aku memilih buku sebagai bentuk ekspresi diri. Aku memilih puisi sebagai tempat pelarian. Aku memilih kata-kata sebagai wadah penampung perasaan. Tak terbayang hati seluas samudera ditampung di dalam sebuah gelas kata. Tapi puisi mampu meringkasnya ke dalam padatan kata.
Saat hati hancur aku mencoba memungut serpihannya lalu ku rekatkan menjadi puisi. Kata Mbah Jiwo rugilah ketika air mata tak jadi apa-apa. Rugilah ketika emosi menguap tanpa menjadi sajak.
Ketika perasaan bahagia aku juga tak lupa. Kata-kata ku sedekahkan ke dalam tulisan. Yang tentu aku tahu di sana tak setiap orang mau membaca. Maka aku sering berdoa, "Tuhan rahmatilah kata-kata ku agar manfaat bagi pembaca, agar berguna bagi yang peduli".
Jadi aku memilih puisi sebagai media. Di saat perasaan fluktuatif, naik turun, kuat lemah kata-kata menjelma puisi. Maka puisi itu spektrum dan tak bisa dibohongi. Justru lewat puisi lah kejujuran terkristalkan. Melalui puisi aku berkata jujur dengan diri sendiri.
Yang paling tak kuat ketika musim rindu tiba. Aku tak kuat. Karena di fase ini puisi ku tak berdaya. Puisi ku tergeletak, lunglai dan sepi. Maka dari itu yang membatalkan rindu hanya pertemuan. Itulah doa kecilku, cepat atau lambat kita akan jumpa.[]
the woks institute l rumah peradaban 28/7/24
Keren bung woko
BalasHapus