Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar 11 Bondowoso : SPK Menjangkau Anak-anak Pesantren (2)




Woko Utoro

Kopdar kali ini barangkali sangat berbeda dengan acara sebelum. Di mana setiap kopdar SPK selalu berhadapan dengan mahasiswa. Atau seringnya kalangan akademisi dan praktisi. Akan tetapi kali ini SPK menjangkau anak-anak pesantren. 

Dalam acara Pelatihan Literasi Nasional tersebut Bu Dr. Amie menjelaskan bahwa sepertinya mulai saat ini SPK sudah waktunya memberdayakan SDM nya sendiri. Selain karena dana faktanya SPK itu memiliki banyak amunisi yang luar biasa. Bu Hitta selaku ketua SPK pun menjelaskan bahwa mengapa anak-anak pesantren? Karena memang kita sudah saatnya berpikir bukan tentang apa yang kita dapatkan melainkan apa yang kita berikan. Dari itulah akhirnya SPK mencoba pola baru di mana membumikan literasi dari yang paling dasar.

Kata KH Masruri Abdul Muhit bukankah ilmu itu memiliki keberkahan ketika di amalkan. Setelah diamalkan barulah terlihat manfaatnya. Maka dari itu sebelum terlambat SPK bergerak ke ranah paling dasar. Karena mau tidak mau kita akan menjadi tua. Sebab menjadi tua itu niscaya dan menjadi dewasa itu pilihan. Jadi kita memilih kapan untuk segera bermanfaat apakah harus menunggu nanti tua? 

Dalam hal menulis Bu Amie memberikan tips agar tulisan itu enak di mata, mudah dibaca, mampu dicerna akal, dan meresap ke dalam hati. Kata beliau tulis saja misalnya jejak keseharian. Karena dengan menulis hal-hal di sekitar kita justru lebih familiar. Tidak usah peduli kualitas. Yang terpenting habitus terlebih dahulu. Setelah menjadi kebiasaan lambat laun banyaknya proses akan melahirkan kualitas. 




Termasuk setiap orang pasti bisa menulis. Bahkan anak-anak santri justru dalam hal imajinasi lebih kaya dari orang dewasa. Dari imajinasi itulah salah satunya bisa menjadi topik tulisan. Maka inilah tugas para guru untuk mengarahkan santri bahwa tradisi menulis itu penting. Dengan menulis kita akan dikenal setidaknya dalam bentuk ide dan gagasan. Saya sendiri tentu membuktikan jika lebih mengenal terlebih dahulu tulisannya daripada orangnya. 

Terakhir program arus utama literasi menjangkau para santri tentu perlu untuk terus digemakan. Karena hal itu bagian dari membangun jiwa pembelajar mulai dari dasar. Jika hal itu sudah mentradisi maka segala macam perubahan tidak dimaknai sebagai hal menakutkan melainkan persahabatan. Sama halnya dengan SPM yaitu Sahabat Pena kita. []

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...