Woko Utoro
Dari beragam percakapan ada satu hal yang saya ingat dan itu menjadi pengingat buat diri sendiri. Percakapan itu bernada negatif perihal keberlangsungan SPK sebagai sebuah organisasi. Saya tidak tahu SPK ini organisasi besar atau kecil. Yang jelas tokoh di dalamnya merupakan orang-orang besar terutama di instansi masing-masing.
Dulu ketika pertama mendengar nama Sahabat Pena Kita (SPK) bayangan saya mengudara. Saya berpikir SPK adalah organisasi besar yang menaungi pegiat literasi seluruh Indonesia. Terlebih ketika mendengar kepengurusan pusat serta cabangnya. Ternyata ketika saya tahu ternyata SPK organisasi yang biasa saja dan mencoba merangkak menjadi luar biasa.
Tentu saya tahu di manapun menghidupi organisasi itu tidak mudah. Terlebih organisasi kepenulisan semacam SPK yang jalanya terseok-seok. Terutama dalam kegiatan dan pendanaan pun saya kira SPK ini organisasi moloekatan alias berjalan apa adanya. Dalam hal menulis pun awalnya garang dengan pentol merah lalu tradisi kick from group diberlakukan. Tapi lambat laun hal itu menjadi lentur.
SPK mengembalikan khittahnya pada makna sahabat. Mana mungkin cuma karena tidak stor tulisan seorang sahabat mengeluarkan sahabatnya. Barangkali keyword sahabat menjadi atas bergeraknya grup menulia ini. Hingga akhirnya kita tahu soal kedisiplinan menulis masih belum ditemukan formulasinya. Karena sesungguhnya menulis adalah komitmen individu. Komitmen akan waktu, pikiran dan rangkaian kesibukan.
Singkatnya ketika kopdar kemarin saya justru melihat SPK justru sedang down. Salah satunya karena makin hari secara kuantitas member grup menulis semakin menyusut. Termasuk dari segi kepengurusan. Untung saja salah satu dari cabang SPK masih eksis hingga kini yaitu Tulungagung.
Saya sendiri sempat guyon dengan Bu Hitta jika suatu saat butuh tempat berkiblat rasanya Tulungagung siap untuk mewujudkannya. Kami pun tertawa bersama. Tapi faktanya demikian bahwa SPK Tulungagung masih tetap berjalan walaupun mungkin tertatih. Kami pun menyadari bahwa penunjang utama organisasi tak lain adalah kekuatan anggotanya. Tanpa kekuatan dan ketabahan suatu organisasi apapun tak akan kuat bertahan.
Maka dari itu kami optimis jika SPK masih memiliki pola-pola kerja ala Tulungagung insyaallah grup menulis ini akan tetap berjalan. Intinya pada kunci utama kekuatan kolaborasi. Bahkan dalam konteks lebih luas Mbah Nun sering dawuh mungkin kita pesimis dengan pemerintah tapi kita selalu optimis jika berkaitan dengan rakyat. Sebab rakyat sudah terlatih untuk mandiri, sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup.
Dalam konteks menulis pun sama. Barangkali kita pesimis dengan kuantitas. Tapi percayalah jika kekuatan bisa dibangun secara bertahap. Salah satu bangunan itu sudah berdiri dan dimulai dari Tulungagung. []
Komentar
Posting Komentar