Langsung ke konten utama

Lebih Baik Telat Makan Daripada Telat Nulis?




Woko Utoro

Judul tersebut nyatanya percis sebuah anekdot. Jika memang terjadi semua hal bisa mengandung resiko. Telat makan bisa menyebakan maag dan telat nulis terjadi penumpukan emosi. Akan tetapi faktanya demikian bahwa beberapa hari ini saya tidak menulis di blog melainkan di Instagram. Jika menulis di blog biasanya saya setting mode serius. Sedangkan menulis di medsos hanya berpikir instan sekali jadi dan kita sering menyebutnya dengan caption. 

Menulis itu dalam bentuk apapun selalu membutuhkan satu gerakan nafas bernama komitmen. Komitmen itulah yang menggerakkan seseorang untuk tetap menulis. Tanpa komitmen yang kuat menulis akan terasa berat. Belum lagi ditambah aktivitas yang padat membuat seseorang kesulitan mencari celah untuk menulis. Tidak hanya itu jika setan malasnya sudah muncul pandangan untuk menulis pasti kabur. 

Rintangan orang menulis itu tak pernah habis. Dalam berbagai bentuk selalu saja rintangan tak akan berhenti. Tapi itulah cara di mana penulis akan melahirkan karakternnya tersendiri. Jika mereka kuat dan adaptif maka tulisan akan mudah dihasilkan. Akan tetapi sebaliknya jika tak mampu bertahan tulisan hanya sebuah angan-angan. Dalam hal ini saya sendiri tidak bisa menyalahkan orang. Saya justru berkaca pada diri sendiri, mengapa beberapa kali berhenti menulis. 

Soal jeda menulis tentu saya banyak argumen. Yang jelas kasus kemarin yaitu akibat kesibukan mengharuskan saya off sejenak. Itu pun tidak ada niatan untuk permanen. Saya tetap komitmen menulis beberapa paragraf dalam catatan di handphone. Walaupun beberapa hari sempat kecewa karena aplikasi catatan keep tidak bisa digunakan. Itulah yang menjadi hambatan mengapa saya jeda sejenak dari menulis di blog. 

Hari ini saya memulai lagi menulis hal-hal sederhana yang telah dilewati. Kadang saya berpikir mengapa begitu kecewa ketika tidak bisa stor tulisan. Tapi saya bersikap biasa saja ketika telat makan yang secara nalar dapat membahayakan tubuh. Fakta membuktikan jika anak kost atau pondok telat makan menjadi keseharian. Akan tetapi telat menulis menjadi hal aneh apalagi kita berupaya komitmen pada diri sendiri dan orang lain. Salah satu komitmen itu adalah keberadaan kita dalam grup menulis. Maka dari itu stor tulisan walaupun telat atau tidak sama sekali? []

The Woks Institute | rumah peradaban 7/7/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...