Woko Utoro Saya pernah ditanya enak mana mengajar mahasiswa atau anak-anak. Saya tentu menjawab yang kedua. Mahasiswa mungkin mudah untuk diajak diskusi dan tidak membuat gaduh. Tapi anak-anak lebih mengasyikkan dan penuh tantangan. Selain itu dunia anak selalu menyuguhkan hal-hal tak terduga. Misalnya kelucuan, keluguan, natural dan suka usil atau iseng. Mungkin dunia anak lebih melelahkan dan perlu energi berganda dalam menghadapinya. Tapi hal itu lebih dimaknai sebagai kepolosan atau ketidaktahuan. Akan tetapi kadang ada juga mahasiswa yang bersikap seperti kekanak-kanakan dan hal itu yang lebih menyedihkan. Maka saya sering berpikir untuk tidak ingin jauh dari mereka dunia anak. Bicara tidak ingin jauh dari anak-anak kita tentu ingat kisah luar biasa yang hampir serupa yaitu Baginda Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Kita tahu tentu kasih dan sayangnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW seluas samudera bahkan lebih. Bayangkan saja di akhir hayat beliau menyebut-nyebut nama umatnya. Dalam tafsir
Woko Utoro Di tengah-tengah ngaji kitab Tafsir Jalalain, Abah Sholeh menghentikan pengajian sejenak seraya memberi pesan. Beliau menginstruksikan agar para santri melaksanakan dzikir jahr setelah shalat fardu. Bahkan bila perlu membaca Qur'an dengan suara keras juga tidak masalah. Apa yang beliau instruksikan bukan tanpa alasan. Justru hal itu berdasarkan dawuh KH Zainuddin Djazuli ketika masih hidup bahwa dzikir itu kalau bisa yang keras (jahr) agar tidak dikira tidur oleh malaikat. Apalagi jika di Ploso memiliki tradisi membaca ayat kursi dengan lantang. Jika satu orang membaca ayat kursi bisa menjadi tameng gaib bayangkan jika 13.000 santri membaca ayat yang sama. Bagaimana berkahnya pondok dan tentunya bisa menjadi wasilah keselamatan untuk semua penghuninya. Demikianlah pesan beliau tentang dzikir jahr. Berdasarkan hal itu saya pun mencari tahu. Ternyata dzikir jahr bisa diartikan dengan suara keras, lantang, nyaring dll. Dzikir jahr bisa ditemukan dalam Kitab Miftahus Shudur