Langsung ke konten utama

Kurban dan Kerelaan Hati




Woko Utoro 

Salah satu ritual ibadah dalam Islam yang menyesakan hati adalah kurban. Jika membuka kembali sejarahnya tentunya kita tahu bagaimana Nabi Ibrahim mengidamkan kehadiran seorang anak. Tapi dalam kisah tersebut beliau diperintahkan untuk menyembelih Ismail kecil. Padahal Ismail kecil adalah buah hati yang sudah lama diharapkan.

Tapi demikianlah bahwa kurban memang harus hal yang dicintai. Seperti halnya hewan ternak adalah simbol pengorbanan. Hal itu tidak lebih besar dari pengorbanan Nabi Ibrahim yang merelakan putranya. Yang pada akhirnya Allah SWT mengapresiasi atas sikap rela Nabi Ibrahim tersebut dan menggantinya dengan domba qibas.

Maka dari itu hikmah dari kurban adalah mendidik kita untuk berkorban. Berusaha memberikan hal terbaik kepada sesama. Selanjutnya kurban juga mendidik agar kita rela atas sesuatu yang pergi. Walaupun hal itu adalah yang kita cintai. Termasuk melahirkan sikap ikhlas atas sesuatu yang kita miliki. Bahwa segala sesuatu adalah milik Allah SWT dan kita hanya diamanahi. Esok atau kapan sesuatu itu akan diminta oleh pemiliknya.

Siapa saja bisa berkurban tapi tentu tidak setiap orang bisa rela. Karena merelakan hal yang dicintai itu berat. Hal itu karena kita terlanjur merasa memiliki. Sifat merasa memiliki atas sesuatu yang bukan milik kita adalah problem hati. Maka dari itu sebelum benar-benar berkurban kondisikan dulu hati. Agar pengorbanan kita diperkenankan. Sebab banyak pengorbanan yang mentah hanya karena hati belum merelakan. Di sinilah kita belajar bahwa ikhlas itu dari dalam dan rela atau ridho berasal dari luar.

Dalam konteks kurban hewan yang diterima itu bukan besar bobotnya atau banyak jumlahnya. Melainkan yang diterima itu adalah yang paling ikhlas pemiliknya. Karena ikhlas adalah ruh dari segala ibadah. Di sinilah kita belajar dari kerelaan hati Nabi Ibrahim dan kepatuhan ala Nabi Ismail.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/6/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...