Woko Utoro
Ini adalah pengalaman pertama saya menjadi khatib Idul Adha. Pengalaman yang tentu akan memandu di hari esok. Awalnya tentu saya menolak karena alasan belum pantas. Tapi lambat laun saya mendapat jawaban bahwa apakah ini seperti sudah saatnya.
Dulu sebelum khatib saya sudah sering menjadi muadzin sampai bilal. Hingga akhir kisah tersebut berlanjut sampai saat ini. Sungguh pengalaman yang menjadi modal buat saya dalam menghadapi masyarakat. Saya tentu beruntung apa yang dipraktekkan di Pondok Panggung dulu sangat berarti saat ini. Maka tak heran jika para asatidz berpesan jika ilmu pondok pesantren akan terasa manfaatnya bila sudah di tengah masyarakat.
Saya merasakan betul jika dulu belajar tentang shalat tarawih, shalat ied, pemulasaraan jenazah, zakat, tahlil, ziarah, muraqi, penyembelihan dll dan semua terpakai saat ini. Belum lagi keilmuan kitab kuning yang kaya membuat saya percaya bahwa pengaruh pondok pesantren memang luar biasa.
Ketika saya dikabari menjadi khatib sekaligus imam awalnya begitu enggan. Bukan karena apa yaitu belum pantas untuk berkhotbah di depan orang. Pantasnya saya diberi khotbah oleh orang lain. Tapi karena tidak ada orang akhirnya saya memberanikan diri. Kata Pak Yohan ini adalah investasi dari Pak Munir agar saya teruskan. Karena yang muda dan mau itu terbilang sedikit jumlahnya.
Belum lagi saat ini banyak pemuda yang mampu tapi gengsi. Lebih banyak lagi yang tidak mampu dan tidak mau belajar. Maka dari itu saya dimotivasi agar menjadi pemuda yang minimal bisa semampunya dan mau belajar. Karena tidak ada kata salah bagi pemula. Selama terus belajar maka kita akan terus berkembang.
Momen menjadi khotib pertama di Perumahan Ghara Asri Utomo Ringinpitu tentu membuat saya menitipkan beberapa catatan. Di antaranya saya belajar bahwa bukan soal kemewahan mimbar, atau kuantitas jama'ah melainkan kemampuan berproses serta menyajikan materi dengan baik. Selanjutnya saya diajari untuk berproses tiada henti, jangan mudah puas dan berikan tampilan terbaik.
Di sini juga saya harus belajar bahwa berjuang tidak melulu kemewahan. Justru perjuangan dimulai dari hal-hal sederhana seperti melayani apa yang diinginkan pasar (warga). Karena ada peribahasa jika bukan kita siapa lagi dan mungkin ini awal dari kisah yang esok akan berlanjut.
Saya juga tentu akan membuat segala pengalaman ini jadi sesuatu yang berharga. Sekecil apapun itu pengalaman jadi khotib ini adalah awal dari penaklukan terhadap diri sendiri. Diri di mana sering merasa kecil di hadapan orang lain. Atau bahkan diri yang tak kunjung sadar akan potensi dan kemampuan. Padahal kata Rumi jika orang dibekali ilmu maka mereka adalah samudera luas atau bahkan alam semesta.
Maka dari itu lewat momentum luar biasa ini saya tentu berterimakasih kepada pihak-pihak yang memberi amanah. Semoga kelak, esok, cepat atau lambat segala hal baik akan mekar. Lir ibarat bunga, tentu mekarnya dimulai dari sini.[]
the woks institute l rumah peradaban 7/6/25
Komentar
Posting Komentar