Woko Utoro
Suatu pagi ketika menuju sekolah saya berpapasan dengan seorang ayah dan dua anak perempuan. Secara tidak sengaja saya berhenti di antara mereka. Pada saat itu suasana macet sehingga membuat saya menepi sejenak. Dari tepian trotoar dua bocah SD dan seorang ayah itu berbincang serius.
Saya dengar sekilas si anak tersebut bernama Aish, sedangkan anak satunya merupakan temannya. Mereka sedang berbincang sekaligus bernegosiasi. Aish menatap ayahnya dengan lesu bahwa ia tidak ingin sekolah. Padahal seragam putih merah sudah melekat dengan rapi. Lalu temanya hanya melihat perbincangan anak ayah itu dengan penuh tanya.
Aish katanya pada sang ayah tidak ingin sekolah karena alasan dibully. Kata Aish sekolah kemarin atau bahkan hari ini bukan tempat yang nyaman. Mungkin Aish tidak mendapat pukulan atau hardikan fisik. Tapi lebih tepatnya ejekan dari teman-temannya karena ia tak beribu. Soal ini tentu saya tidak tahu kemana ibu Aish sebenarnya berada. Yang jelas saya hanya fokus dengan petuah sang ayah.
Kata sang ayah, Aish kamu harus sekolah. Lihat teman mu dia sudah mau terus bersamamu. Sekarang kan ada ayah yang tak bosan mengantar ke sekolah. Si ayah dengan rambut gondrong dan rokok di tangannya terus meyakinkan Aish. Karena bagi sang ayah kita sudah setengah perjalanan. Sayang jika Aish tidak sampai ke sekolah terlebih hari itu terakhir pelaksanaan ujian kenaikan tingkat semester 2.
Bagi Aish ayah tak tahu yang ia rasakan. Jika pun ayah hadir paling-paling hanya sampai gerbang sekolah. Sedangkan Aish harus berjuang, bertahan, menghadapi anak-anak pembully itu. Kata ayahnya, Aish tidak usah khawatir kan ada (kita sebut saja Nida) temannya Aish. Aish makin mengelak jika Nida pun sama seperti dirinya merupakan korban atas bullyan temannya. Sebab Nida juga tak bisa melawan atas dominasi temannya yang lain.
Pokoknya Aish tidak ingin sekolah jika kondisi belum memungkinkan. Mana mungkin Aish sekolah dan jadi korban atas kesewenangan mereka. Ayahnya masih mencari akal bagaimana meyakinkan putri kecilnya itu. Kata ayahnya Aish sekolah ya, kan masih ada ibu bapak guru. Biarkan bapak ibu guru yang akan menindak itu. Serahkan pada bapak ibu jika mereka berulah lagi. Terus Aish jangan mudah memasukan ke dalam hati apa yang diomongkan mereka.
Kata Ayahnya sambil memeluk Aish, ya sudah sekolah ya nanti janji akan dibelikan ice cream. Kebetulan Aish sangat suka ice cream dengan toping coklat di atasnya. Aish pun mau sekolah walaupun raut wajahnya masih menyisakan kecemasan. Sedangkan Nida hanya membersamai Aish sebagai teman yang rentan menjadi korban pembullyan.
Dari kisah tersebut saya jadi belajar bahwa sebenarnya perempuan harus belajar dari laki-laki dan sebaliknya. Intinya bahwa penghargaan itu memang lahir dari lingkungan yang tepat. Sedangkan kenyamanan lahir karena dikondisikan oleh sesama terutama diri sendiri. Tapi harus sadar bahwa di manapun tempatnya stabilitas itu tidak ada yang awet. Selalu ada saja benalu di antara pohon utama yang rindang dan teduh.
Saya juga belajar jika dulu ibu tidak pernah membela sekalipun saya benar. Saya justru sering kena marah jika lebih benar-benar berbuat salah. Kadang saya berpikir apa ibu tidak sayang dengan anak laki-laki nya ini. Ternyata hari ini saya menemukan jawabannya bahwa problem apapun yang terjadi pada anak biarkan saja. Karena problem itu adalah cara bagaimana mereka berpikir dan bertindak dan bukan menghindar.
Tidak hanya perempuan, laki-laki pun perlu untuk dimengerti dan dipahami. Sederhana memang tapi perlu pengetahuan dan pengalaman dalam mempraktekkannya. Bahkan kadang saya berpikir mengapa anak laki-laki tidak begitu dirisaukan daripada anak perempuan terutama ketika mereka di luar lingkungan keluarga.
Saya berpikir apa laki-laki kurang berharga atau apa karena mereka bisa menjaga diri. Ternyata saya sadar bahwa anak perempuan adalah mahluk yang tak pernah dewasa di mata orang tuanya. Maka dari itu kecemasan orang tua dalam memposisikan anak perempuan selalu berbeda dari laki-laki. Sedangkan anak laki-laki sendiri bukan berarti tak berharga tapi lebih tepatnya mereka esok akan jadi tembok terakhir bagi keluarganya.
Intinya persamaan anak laki-laki dan perempuan adalah bahwa mereka memiliki hak yang sama untuk menjelaskan segala macam problema. Bahkan dalam bahasa sederhana disebutkan jika air mata anak laki-laki dan perempuan itu sama. Yaitu sama-sama sebagai makhluk yang ingin dimengerti dan dipahami terlebih oleh orang terkasihnya.[]
Komentar
Posting Komentar