Langsung ke konten utama

Budaya Literasi sebagai Gerak Juang Pembebasan Pikiran


Woks

Membaca bagi Ajip adalah kebutuhan rohani manusia, dan menulis merupakan bentuk implementasinya. Menulis juga tidak lain sebagai kesaksian atas kehidupan manusia dan kemanusiaan. Begitulah pesan sastrawan besar Indonesia Ajip Rosidi yang dicatat oleh Maman S Mahayana sebagai manusia yang multitalenta sekaligus pembelajar sejati. Lalu kita bertanya mengapa harus Ajip Rosidi, lalu apa pula pentingnya berliterasi di zaman modern ini.

Setidaknya ada dua hal yang perlu kita urai dalam artikel sederhana ini. Pertama, mengapa sosok Ajip Rosidi perlu kita hadirkan dalam judul tulisan ini karena memang Ajip adalah sosok yang istimewa. Ia adalah sosok yang mendapat gelar honoris causa bukan karena pendidikanya tapi karena ketekunannya dalam berliterasi terutama soal baca tulis dan fokus dalam kegiatan sosial, budaya dan masyarakat. Ajip Rosidi yang kita ketahui tidak tamat SMA itu membuktikan kepada dunia lewat kesukaannya dalam baca tulis akhirnya mencapai puncak karirnya dengan segudang karya dan prestasi.

Ajip meyakini bahwa berkarya bisa lewat apa saja atau lebih tepatnya apapun bisa dipelajari. Jangan sampai kita merasa minder karena strata pendidikan. Dalam arti lain bukan berarti pendidikan itu tidak penting, namun lebih tetapnya adalah bagaimana kita mewadahi pemikiran. Saat ini problem individu adalah ketidakmampuan untuk mengeksplorasi pikiran dengan sebaik-baiknya. Salah satu cara untuk mengekspresikan pikiran adalah dengan cara menulis.

Tidak hanya Ajip Rosidi penulis seperti Pramoedya, NH Dini, Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Pipiet Senja, Taufiq Ismail, Laela S Chudori serta nama besar lainya akan berkata bahwa dengan menulis kita bisa menjadi mulia. Lewat tulisan segala macam pikiran dibaca segala gagasan di dengar. Mereka meyakini dengan menulis pikiran yang dianggap usang akan terus hidup. Ibarat meja makan tulisan pada buku memberi hidangan pengetahun yang praktis. Tinggal mau kapan kita luangkan waktu untuk membaca. Tanpa membaca rasanya kita mustahil kita bisa menulis, jika copas banyak.

Kedua, sampai kapanpun berliterasi akan terus relevan sepanjang zaman. Bahkan hari ini kita tahu kegiatan ini tidak melulu disempitkan dengan membaca dan menulis melainkan sudah merambah ke literasi numerasi, perpustakaan, ekonomi, hingga digital. Cakupan literasi yang luas itu tentu membutuhkan kepekaan kita dalam mengolah informasi. Sebab di era arus informasi yang tak terkendali ini kita dituntut selektif karena tidak semua informasi bisa dipertanggungjawabkan validitasnya.

Dengan literasi sesungguhnya kita diajak untuk menciptakan kehidupan yang literat. Kehidupan yang penuh dengan seni dan kedamaian. Di mana orang beraktivitas berasaskan ilmu pengetahuan. Sebab akhir zaman nanti akan semakin banyak orang bodoh berkeliaran sambil membawa bendera emosi. Padahal jika kita baca bahwa hidup itu selalu ada alasannya terutama alasan logis mengapa hal itu terjadi. Jadi saat ini kita tahu bahwa problem masyarakat bukan karena ketiadaan buku misalnya, melainkan karena ketidakmauan untuk belajar. Termasuk menelaah lewat bacaan dan mengaplikasikan kehidupan lewat tulisan. Tulislah apapun yang sederhana yang ada di sekitar kita setelah mulai terbiasa maka tulisan akan memiliki ruhnya tersendiri. Menulislah sekarang juga dan tanpa alasan.

Selain itu kegiatan ini agar lebih afdhol selain baca tulis kita pun perlu mendiskusikan pengetahun. Tujuan dari diskusi itu sendiri agar keilmuan tidak berhenti, agar pengetahun tetap dinamis. Dengan cara diskusi berarti kita semakin merawat akal. Karena akal yang cenderung dibiarkan malah akan terbengkalai dan usang. Jangan sampai usia muda yang cemerlang ini disiakan begitu saja. Maka dari itu kegiatan literasi ini sesungguhnya mengajak kita untuk tertantang dalam derasnya perjuangan.

*Disampaikan dalam acara PJBL LPM Aksara di Wisma Wonorejo, 19/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...