Langsung ke konten utama

Jalan Berliku itu Bernama Gus Dur

 

Woks

Suatu saat seseorang bertanya apa yang menarik dari Gus Dur, sampai kapan pula pemikiranya dikaji. Pertanyaan tersebut sebenarnya hanya berlaku bagi mereka yang tidak mengetahui tentang beliau. Bahkan jika sampai tahu mungkin ia sudah seperti Greg Barton si penulis biografi Gus Dur yang bestseller itu. Tidak tanggung-tanggung selama perjumpaanya dengan Gus Dur era 1980an Greg Barton menyimpan banyak rasa kagum kepada sosok yang ia tulis itu. Tidak salah rasa kagum dari pemikiranya itu selalu dikaji oleh banyak orang hingga saat ini. Untuk merawat buah pikiran besar Gus Dur beberapa jaringan Gusdurian berdiri dengan alami dan semangat anak muda muncul di berbagai daerah.

Gus Dur sang manusia multidimensi itu memang sangat mengagumkan. Ia adalah anugerah yang telah Tuhan berikan buat bangsa ini. Sosok manusia yang menurut sebagian orang dinilai cacat dan kontroversi di akhir hayatnya justru ditangisi dan dibanjiri rasa kehilangan. Gus Dur memang manusia biasa maka wajar sebagian orang mencercanya. Padahal ia adalah sosok guru bangsa, manusia komplit penuh dedikasi buat bangsanya. Manusia yang selalu ingin menegakan keadilan tanpa pandang bulu dan menebar nilai-nilai demokrasi dan humanisme.

Sudah banyak orang menulis tentang Gus Dur dari berbagai sudut pandang dan latar belakang. Gus Dur seorang santri yang orang menyebutnya dengan "par excellence", ia juga seorang kiai pesantren pengupas kitab kuning serta juru dakwah yang handal. Gus Dur juga merupakan akademisi, politisi hingga seorang kolumnis ulung. Bacaan yang rakus menjadikanya banyak pengetahuan maka tak salah jika gagasanya selalu tertuang mengalir deras lewat tulisan. Gus Dur juga seorang budayawan, seorang aktivis hingga komentator bola. Gus Dur juga merupakan sesosok manusia sederhana organisatoris dan pastinya humoris. Orang yang tiap hari berkutat dengan joke karena baginya humor bisa menjadi katalisator pemecah permasalahan. Gus Dur adalah pejuang, pemikir, guru bangsa, negarawan terhormat dan peletak dasar berdiri di atas semua golongan. 

Gus Dur memang tak bisa ditebak, ia penuh misteri. Selain koki yang handal ia juga dikenal wali oleh banyak orang. Beberapa karamah dan jalan lika-liku selalu terpancar lewat lakunya yang aneh dan nyeleneh. Ia memiliki hobi yang tidak seperti pada umumnya orang. Ia senang bepergian, nyarkub (ziarah kubur), sowan (bersilaturahmi), dan pastinya jarang memiliki uang (kantong bolong). Padahal sekelas ketua PBNU, Presiden, cucu pendiri NU, anak salah satu perumus dasar negara, ia malah hidup sederhana. Gus Dur ibarat Eyang Semar dalam pewayangan yang kadang menjelma dalam sebuah petuah "weruh sak durunge winarah" kadang juga menjelma seperti Kumbokarno sosok wayang yang suka tidur tapi di lain kesempatan ia membela negaranya mati-matian. Ia juga sering menjelma Punakawan yang lucu sambil memberi pitutur arif dan bijaksana.

Mendalami Gus Dur memang rumit alias perlu waktu untuk melihat tentang banyak hal yang diwariskanya. Negara yang bahkan sampai hari ini masih kekanak-kanakan justru dari Gus Dur lah kita belajar tentang kedewasaan. Gus Dur ibarat kuliner bukanlah bahan pelengkap justru merupakan bahan utama. Keutamaan dan kesederhanaannya itulah yang mengilhami banyak orang menuliskan tentangnya mulai dari tulisan ringan hingga berbobot, dari sekadar refleksi hingga ilmiah. Berbagai sudut pandang pun sudah banyak yang mendokumentasikan mulai dari biografi, jalan politik, aktivis, sisi humor, kewalian, pemikiran, hingga asmara dan keluarga. Hingga saat ini kita hampir kesulitan apa lagi yang bisa ditulis tentang Gus Dur manusia multitalenta itu. Atau memang jangan-jangan kita yang penuh keterbatasan. 

Saat ini kita hanya bisa membaca rekam jejaknya yang revolusioner mulai dari sekolah dasar (1953), menjadi guru (1963), studi ke Mesir dan Baghdad (1970), Dekan UNHASY (1974), pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur (sejak 1976), Ketua PBNU (1984-2005) dan puncaknya Presiden RI (1999) termasuk serangkaian penghargaan baik Nasional maupun Internasional. Gus Dur sebagai orang yang penuh kekurangan justru menunjukkan pada dunia bahwa dirinya mampu dan percaya diri. Modal itulah yang bagi Gus Dur menjadi kunci bahwa semua orang sama di mata Tuhan sedangkan perbedaan terletak pada ketaqwaannya.

Gus Dur memang selalu dielu-elukan, ia dicintai banyak orang bahkan kalangan akar rumput juga menghormati beliau sekalipun belum pernah membaca karya-karya nya. Gus Dur selalu disamakan seperti Imam Khomeini tokoh revolusioner Iran, Mahatma Gandhi tokoh pejuang India atau aktivitas kemanusiaan lainya seperti Martin Luther King JR di Amerika dan Nelson Mandela di Afrika Selatan. Tapi Gus Dur tetaplah Gus Dur, ia tidak lebih menghargai dirinya sendiri sebagai entitas kepercayaan diri yang kuat untuk membangun keindonesiaan padahal ia lahir dari rahim pesantren. Karena keagamaannya sudah mantap maka tidak aneh jika Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa Gus Dur lebih memilih mereka yang tertindas dari pada mereka yang selalu superior walaupun dari kalangan agamanya sendiri. 

Saat ini tepat di penghujung Desember kita mengingat Gus Dur pulang ke haribaanNya dengan tenang dan damai. Kita kehilangan leluconnya, petuahnya, "gitu aja kok repot" dan pejuang kemanusiaan itu. Al Fatihah

the woks institute l rumah peradaban 25/12/20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...