Langsung ke konten utama

Serangan Fajar Budaya Destruktif di Masyarakat


Woks

Sejak kapan serangan fajar menjadi trend dalam kancah berdemokrasi kita. Sebuah istilah yang hingga kini masih dan bahkan akan terus populer jika masyarakat masih tidak sadar betapa bahayanya. Lantas kita pun bertanya apakah ada pemimpin yang dipilih tanpa modal uang, rasanya kok tidak ada. Uang tidak selalu dimaknai negatif bisa saja ia adalah modal di mana mengerjakan suatu apapun itu pasti butuh modal. Yang jelas pemimpin yang lahir tanpa money politic pastinya ada.

Kita mengingat BJ Habibie, Gus Dur hingga Megawati mereka adalah Presiden yang dipilih berdasarkan sidang Parlemen dalam hal ini tidak dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi dalam sejarah pemilihan langsung oleh rakyat sudah dicetuskan di era Gus Dur akan tetapi realisasi itu diteken di era Megawati. Kita tahu SBY adalah produk pertama hasil dari pemilihan langsung oleh rakyat.

Serangan fajar, money politic, black campain atau tindak kecurangan dalam pemilu apapun itu tidak bisa dibenarkan. Sehingga ketika praktek-praktek kecurangan dalam pemilu tersebut masih ada sesungguhnya ia adalah mencederai nilai demokrasi itu sendiri. Sehingga kontestasi politik selalu dimaknai sebagai praktek kotor yang harus dihindari. Tidak salah jika semakin ke sini sebagian masyarakat sudah mulai cerdas dalam menentukan arah geraknya. Bahkan mereka ada yang sudah tidak yakin dengan kehadiran para pemimpin itu sekalipun mereka membawa visi misi pro rakyat. Fakta di lapangan seperti apa yang kita saksikan saat ini. Bahkan kemenangan kotak kosong dalam sebuah pemilu adalah kecacatan dalam demokrasi, termasuk kegagalan dalam kaderisasi politik.

Bahaya laten dari praktek serangan fajar dalam bentuk apapun akan berakibat buruk bagi demokrasi kita kedepannya. Sampai kapanpun masyarakat akan terbelenggu oleh mereka yang memiliki modal besar, gelar tenar serta basis massa yang kuat. Sedangkan paslon lain yang di bawahnya hanya sekadar pemanis belaka. Jika demikian praktek berdemokrasi kita telah tergadai oleh modal. Kontestasi politik yang seharusnya jadi ajang adu argumen dan program malah bergeser menjadi adu gengsi dan uang. Tapi ironisnya masyarakat masih bisa terus dibohongi. 

Paling kentara adalah saat pemilihan di tingkat desa misalnya, masih banyak paslon yang membawa modal besar demi membeli suara. Tak jarang mereka kehabisan harta benda demi memenangkan pasanganya. Setelah jadi mungkin akan berpikir bagaimana mencari gantinya dengan berbagai macam proyek. Lebih parah lagi di pihak yang kalah banyak juga yang tegar, legawa, ikhlas sampai stress gangguan jiwa.

Praktek serangan fajar ini seharusnya segera disikapi dengan kritis. Agar jangan terus-terusan suara masyarakat tergadai oleh uang. Suara penentuan untuk masa 5 tahunan hanya diganti dengan beberapa nominal uang itu sangat tidak masuk akal. Seharusnya masyarakat mulai sadar dan segera melepas belenggu tersebut. Jika tida demikian maka serangan fajar akan terus membudaya sedangkan kita terkena jeratnya. Jika hal itu terus dianggap hal yang wajar lantas bagaimana nanti kedepanya. Budaya itu akan terus terwariskan hingga akhirnya kita bertanya masih adakah orang yang waras.

Partisipasi politik sangat perlu seperti yang dipesankan Plato "bahwa salah satu hukuman menolak berpartisipasi dalam politik adalah kamu akhirnya diperintah oleh orang tidak kompeten.” Dari pesan Plato itu kita bisa berkaca bahwa suara masyarakat sangat mahal harganya. Kita tidak bisa disuap hanya dengan selembar uang, kaos atau mie instan. Seharusnya masyarakat menunjukkan kekuatannya bukan sebagai objek tapi subyek yang cerdas dan bisa menentukan sikap. Stop serangan fajar mulai saat ini. Jika pun dengan terpaksa menerima uang itu tetap saja suara personal adalah hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat.

the woks institute l rumah peradaban 9/12/20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...