Langsung ke konten utama

Melihat Kerapuhan Mindset Bekerja


Woks

Seorang kawan datang kepadaku perihal adiknya yang tak kunjung mendapat pekerjaan padahal ia baru saja lulus dari sekolah kejuruan favorit di desanya. Tanpa panjang lebar aku pun menyampaikan bahwa tidak hanya anak SMA/SMK, anak yang baru selesai kuliah pun kesulitan untuk cari kerja. Keadaan yang serba sulit tersebut memang dirasakan tidak hanya mereka para angkatan muda kerja para buruh yang sudah lama bekerja pun masih merasakan kecemasan terhadap masa depanya.

Bekerja dan memiliki pekerjaan memang sangat penting terutama dalam rangka memutar roda ekonomi keluarga. Tanpa pekerjaan berarti seseorang menjadi nganggur dan pasif. Dampaknya tentu sangat banyak selain beban mental psikologis tentu ada bahaya lain seperti meningkatnya kriminalitas dan bunuh diri. Menurut catatan Badan Pusat Statistik di tahun 2019 ada sekitar 2,24 juta orang yang mencari kerja. Usia tersebut terdiri dari usia produktif kisaran 19-40 tahun. Angka yang besar tersebut tentu harus diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Kadangkala ketimpangan terjadi karena tidak seimbangnya jumlah pencari kerja dan lapangan pekerjaan. Lalu di mana mereka yang menciptakan lapangan pekerjaan baru? Di sinilah perlunya kita urai benang kusut jangan-jangan yang salah adalah mental kita, mindset atau faktor X lainya.

Selama ini saya melihat ada yang salah ambil contoh tentang mindset kerja. Sejak di sekolah kita selalu dididik untuk siap kerja artinya di sana terselip narasi bahwa selamanya kita adalah buruh. Sekalipun kerja dipabrik Internasional toh selama kita tak memilikinya di sana status kita tetaplah karyawan yang perlu digaji. Kita tidak pernah dididik menjadi manusia mandiri, berdikari dan siap mencipta inovasi dalam hal ini lapangan pekerjaan.

Sekolah yang bertujuan mencetak orang siap kerja memang tidak salah tapi perlu dikritisi sebab supaya tidak terjadi pergeseran peran ilmu. Di mana ilmu itu menjadi penerang dan menunjukkan orang dalam pilihan hidupnya. Seharusnya saat ini kita berpikir bagaimana menjadi seorang wirausahawan dengan kreasi dan inovasi. Sehingga mindset mencari kerja berubah menjadi pencipta kerja. Seorang pedagang akan bergelut dengan modal dan menjajakan barang dagangannya tanpa perlu tau menejemen untung rugi. Seorang yang wirausaha lebih dari seorang pedagang yaitu bisa memanage modal awal, untung rugi dan bagaimana membuatnya terus berputar. Sedangkan businessman mencangkup semuanya bahkan para pebisnis ini mengubah keadaan dari hard work ke smart work. Peluang itulah yang kini banyak digeluti oleh para pelaku bisnis, di mana mereka memanfaatkan media untuk meraup keuntungan dari usahanya.

Mindset Kerja dan Kontradiksi Pesantren

Kita pernah menemukan kalam Buya HAMKA yang bertebaran di media sosial berbunyi jika hidup hanya sekedar makan babi di hutan pun makan, jika hidup hanya sekedar bekerja tentu hewan di hutan pun bekerja. Kata-kata tersebut seolah-olah sedang memberi pesan kepada kita bahwa pekerjaan bukan segalanya. Jika bekerja mungkin ia sebagai sarana mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi tidak perlu dicari mati-matian seolah semua hasil itu akan dibawa mati.

Akan tetapi ada saja yang menyangkal pernyataan itu bahwa hewan kan hanya makan sesuatu yang homogen (rumput atau daging) sedangkan manusia kebutuhannya banyak. Sebenarnya bukan soal makananya tapi soal keinginan yang berlebihan. Sebagai manusia yang telah diberi akal tentu kita harus berpikir tentang arti puas ikhlas. Mencoba untuk terus menghilangkan hasrat ingin memiliki serta menghapus segala standarisasi kehidupan yang harus ini dan itu. Padahal dengan sesuatu yang sederhana kita bisa hidup damai.

Jika bekerja hanya untuk makan berarti kita telah banyak membung waktu. Coba bayangkan hanya untuk mandiri cari makan sendiri kita membutuhkan waktu belasan tahun melewati penatnya pendidikan. Sedangakn hewan seketika dari lahir mereka sudah mampu cari makan sendiri. Ternyata benar bahwa menjadi mandiri manusia perlu proses panjang dalam lelahnya penempaan. Sebagai mahluk yang diberi akal tentu manusia harus lebih canggih dalam menentukan sikap. Sehingga jika akal pikiran tidak digunakan dengan baik maka dalam teks agama manusia memang layak dibandingkan dengan hewan. Di sinilah perlunya menata ulang mindset kerja.

Soal kerja di pesantren sejak dulu santri memiliki doktrin untuk tidak memikirkan masa depan termasuk nanti jadi apa dan kerja apa. Doktrin tersebut bertujuan agar santri dapat fokus mengaji alias menimba ilmu di pesantren. Keberhasilan seorang santri dalam menimba ilmu adalah seberapa kuatnya ia dalam belajar. Karena semakin sering ia menghafal, menulis, mendengar, mutholaah, diskusi dan praktek niscaya ia akan berhasil dalam mengaplikasikan ilmunya.

Namun seiring berjalannya waktu pesantren berbenah untuk bersaing dengan pendidikan formal yang ternyata juga membekali santri dengan soft skill agar santri bisa bersaing di dunia kerja. Artinya santri pun dapat diperhitungkan dalam percaturan pekerjaan di tingkat domestik maupun nasional. Semua punya hak yang sama bahkan saat ini pemerataan dan kesetaraan antar lulusan pesantren dan sekolah umum sudah berlaku.

Jika kita sudah paham tentang mindset kerja lantas saat ini kita bisa memetakan bahwa kerja hanya dilakukan oleh serangkaian kebutuhan. Sedangkan aspek lain seperti esensi pencari kerja hanya terjadi lewat persepsi semata. Apapun nanti jadinya kita pasti bekerja jangan khawatir semua rezeki sudah ada pembagiannya sendiri. Di sisi berdoa dan usaha tentu kerja akan menjadi pilihan antara dijemput atau diciptakan. Kerja bukan ditinjau dari kepangkatannya tapi dari apa yang bisa kamu berikan kepada masyarakat melalui pekerjaan tersebut.

the woks institute l rumah peradaban 13/12/20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...