Langsung ke konten utama

Ilmu Kantong Bolong Gus Dur dan Fenomena Korupsi yang Masif


Woks

Setiap tahun saat haul Gus Dur digelar orang-orang akan mengingat tentang banyak hal yang dapat dipetik sebagai uswah hasanah salah satunya adalah ilmu kantong bolong RMP Sostrokartono (kakak RA Kartini) yang melekat pada diri beliau. Gus Dur baik sebelum atau sesudah jadi presiden memang terkenal mengamalkan ajaran itu entah sejak kapan yang jelas semua itu tidak aneh karena didikan orang tuanya.

Ilmu kantong bolong yang Gus Dur aplikasikan adalah sebuah sikap untuk peduli sesama, memberi tanpa pamrih dan menolong tanpa membedakan. RMP Sostrokartono (1932) menuliskan, ilmu kantong bolong nulung pepadane ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong yen ono isi lumuntur maring sesami. Artinya untuk membantu seseorang itu tidak melihat waktunya, isinya atau hal-hal lainya. Apa mungkin hanya untuk membantu seseorang bertanya apa agama, kepercayaan, suku, warna kulit, partainya. Yang jelas bagi Gus Dur jika orang berbuat baik maka orang lain tak akan tanya apa agama atau suku mu. Semua sama dalam pandangan Gus Dur bahkan ia sendiri justru menekankan agar membantu mereka yang terdzolimi. Tuhan tidak perlu dibela, ia sudah Maha Besar belalah mereka yang terpinggirkan dan terdzolimi, begitulah Gus Dur dalam catatannya.

Dari banyak cerita tentu kita mendengar bahwa Gus Dur kemana-mana tidak pernah membawa uang di sakunya. Akan tetapi saat orang lain membutuhkan bantuanya ia akan segera membantunya. Selain humoris Gus Dur memang sangat mudah berderma (ringan tangan). Ibarat wayang beliau seperti Petruk yang nama lainya Kanthong Bolong. Anak kedua Semar itu memang suka berderma, kesabarannya sangat luas, hatinya bak samudera, hatinya longgar, plong dan perasaanya bolong tidak ada yang disembunyikan tidak suka menggerutu dan ngedumel. (Kresna, 2012).

Banyak cerita yang dikisahkan oleh orang mulai dari sahabatnya, para kyai, akademisi, hingga orang biasa tentang praktek ilmu kantong bolong Gus Dur diantaranya yang diceritakan KH. Marzuqi Mustamar bahwa saat beliau (Gus Dur) pulang dari Amerika langsung bagi-bagi uang ke daerah pinggiran Jakarta (sumber dari Habib Martak Sidoarjo). Lalu seorang bernama Agus di Malang Jawa Timur pernah dititipi koper yang tidak boleh dibuka sebelum Gus Dur wafat ternyata singkat cerita koper tersebut berisi uang sekitar 3 milyar yang ditujukan kepada para faqir miskin di sana. Gus Dur juga sering sekali memberi kepada tamunya yang berasal dari jauh saat berkunjung ke PBNU sekitar tahun 1986. Termasuk penuturan Kang Maman Imanulhaq bahwa selama ia ikut dengan Gus Dur, beliau adalah orang yang ringan tangan, sosok filantropi sejati. Saat itu Gus Dur terlibat memberikan bantuan pada sebuah panti bernama RSA Puspita. (Maman, 2010).

Korupsi Negeri Ini Kapan Akan Berakhir

Saat wawancara dengan Andy F Noya, Gus Dur mengatakan bahwa mengapa ia membubarkan DepSos (Departemen Sosial) padahal banyak kaum dhuafa yang perlu dinaungi lembaga tersebut alasanya karena korupsinya besar-besaran bahkan hingga hari ini. Pernyataan Gus Dur tersebut memang benar adanya hingga hari ini korupsi menjadi tantangan terbesar setelah isu radikalisme dan narkoba. Korupsi menjadi alasan mengapa penegak hukum atau KPK harus lebih tegas lagi dalam membrantas oknum-oknum tersebut hingga ke akar-akarnya.

Menurut Gus Dur korupsi sudah termasuk kejahatan kemanusiaan. Ia sebenarnya telah berlangsung lama dan membudaya bahkan cenderung terus diwariskan. Koruptor seperti telah menjadi kejahatan struktural yang dapat menghambat pemenuhan kebutuhan primer seluruh lapisan masyarakat, terutama kalangan akar rumput. Korupsi bisa saja terjadi di semua kalangan mulai dari tingkat RT hingga wakil rakyat atau penegak hukum itu sendiri. (Maman, 2010).

Bahaya laten korupsi memang akan terus menjalar jika tidak dihentikan oleh kesadaran diri sendiri dan hukum kemanusiaan. Sebab selama rasa puas dalam diri belum dimunculkan maka sampai kapanpun seseorang tidak akan pernah puas. Hal senada pernah dikatakan Plato bahwa korupsi terjadi karena manusia elite belum mampu menguasai nafsu serakahnya dan belum mencapai level kebijaksaan yang tinggi.

Jika kita amati kasus korupsi yang akhir-akhir ini melibatkan anggota dewan hingga Mentri apalagi alasanya kalau bukan karena sebuah keinginan. Bisa dibayangkan berapa kerugian yang harus ditanggung negara akibat aliran dana yang masuk ke dalam kantong pribadi itu. Padahal merujuk pada kepuasan dalam ilmu tasawuf jika dengan sepiring nasi mampu mengenyangkan mengapa harus mencaplok hak orang. Dengan sebuah kamar bisa membuat tidur nyenyak mengapa harus membutuhkan istana megah dibangun di sana-sini.

Dari Gus Dur lah mari bercermin diri, sosok presiden yang juga ulama itu telah mencontohkan kepada kita akan arti kesederhanaan. Bahkan saat ia harus puas jatuh dari kursi jabatanya Gus Dur dengan tenang menjawab "tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian". Lantas jika orang masih bertanya, bukankah Gus Dur pernah tersandung kasus Bulogate dan Brunaigate yang pada SI-MPR ia harus digantikan Megawati. Jawaban itu tentu bervariatif tergantung anda meyakini dari sumber mana info tersebut diperoleh. Yang jelas dalam banyak kesempatan kasus Gus Dur tersebut benar secara politis tapi secara hukum sampai hari ini belum terbukti bersalah.

Relevansi ilmu kantong bolong ini rasanya perlu dimunculkan kembali agar orang-orang tercerahkan untuk bersikap altruis. Mementingkan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Jika orang telah sadar tentang hak dan kewajiban maka bisa dipastikan mereka tidak akan mengambil hak orang lain walau hanya secuil apalagi sampai menjual aset negara untuk kepentingan pribadi. Selama nilai-nilai demokrasi belum membumi, hukum mudah dibeli, aparat penegak hukum masih setengah hati, dan tidak ada kesadaran dalam diri maka sampai kapanpun korupsi akan terus tumbuh subur. Semoga saja masih menurunkan manusia bermental Gus Dur yang tak pernah takut, tak pernah peduli dengan omongan orang, berprinsip dan tentunya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

the woks institute l rumah peradaban 26/12/20



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...