Langsung ke konten utama

Obituari: Pak Maulani Sang Pekerja Keras


Woks

Aku memang tidak terlalu intens berinteraksi dengan beliau akan tetapi sekilas dari pertemuan singkat itu aku bisa belajar dari beliau. Seorang bapak yang memiliki anak banyak tapi tetap gigih berjuang bekerja keras. Bahkan aku selalu ingat syair lagu Ayah dari Ebiet G Ade " //kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras namun kau tetap tabah // keriput tulang pipi mu gambaran perjuangan.
Syair lagu itu percis seperti penggambaran beliau orang yang tubuhnya kecil tapi pekerja keras.

Yang aku tau beliau sejak siang hingga malam selalu rutin berjualan bakpao. Dengan gerobak seadaanya beliau kayuh terus menyusuri sepanjang jalan. Entah kemana pergi yang jelas mencari nafkah adalah kewajiban lelaki. Mencari nafkah untuk keluarga adalah bagian dari jihad. Beliau adalah sosok yang bertanggungjawab sekalipun bekerja seadanya dengan hasil pas-pasan tapi beliau lakukan dengan penuh semangat.

Saat beliau masih hidup ketika aku main ke rumah putranya Yahya, aku sering berjumpa dengan beliau. Walaupun hanya sekadar bertanya dari mana, monggo mempersilahkan tapi sambutan beliau kepada siapapun nambak begitu teduh. Dengan logat Suroboyonan beliau nampak menghayati hidup dengan sederhana. Bahkan saat Yahya sering berdiam di rumah karena tidak bekerja beliau menasehati tapi tidak terlalu memaksa. Biarkan ia punya pilihan hidup sendiri sudah besar masih disuruh-suruh itu kan tidak pas.

Tidak hanya itu saat beliau di rumah kadang kala aku sering mendapat bakpao gratis. Kadang juga bakpao itu datang diwaktu yang tepat, pas nya ketika aku sedang laparnya. Dan yang membuat aku terkesan dengan beliau adalah selalu boso (pakai bahasa Jawa halus) kepada siapapun. Sekitar 3 hari sebelum kepergian beliau aku masih sempat berbincang di fotokopian depan rumah. Beliau mendengarkan seksama ceritaku tentang banyak hal termasuk musibah Covid-19 yang tak kunjung reda juga bercerita seputar kebijakan pemerintah yang lucu. Saat cerita tersebut bahkan beliau sempat mengutarakan permohonan maaf karena pendengarnya sudah terganggu. Dan aku pun sebenarnya sudah memakluminya. Tidak hanya itu unggah-ungguh beliau selalu nampak jelas kepada siapapun termasuk ke pelangganya.

Sejak saat itu aku tidak pernah tau usia seseorang. Sejak saat itu pula aku belajar bahwa siapa saja memang tengah menyandang gelar calon jenazah. Manusia pekerja keras itu kini telah berpulang kepangkuan illahi. Malam sejak tragedi tabrakan yang memporak-poranda gerobak bakpaonya beliau pergi di tengah keheningan, di tengah guyuran hujan rintik nan sejuk. Semoga Allah swt mencatat amal baik beliau semoga beliau tercatat sebagai syahid meninggal dalam usaha mencari nafkah. Husnul khatimah, sugeng tindak Pak Mul. Al Fatihah

the woks institute l rumah peradaban

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...