Langsung ke konten utama

Fragmen Sandiwara: Kritik Sosial dalam Lagu Ugal-ugalan

            (Sebuah kesenian sandiwara)

Woks

Menyelami kebudayaan Pantura khususnya sandiwara memang sangat menarik. Apalagi setelah wafatnya para maestro dalam kesenian tarling atau sandiwara yang telah berjasa dalam menciptakan lagu-lagu khas Cirebonan atau Dermayonan itu. Nama seperti Jayana, Uci Sanusi, H. Abdul Adjib, Hj Dariyah, Yoyo Suwaryo, Iti S, Uun Kurniasih tentu sangat populer dalam mengembangkan budaya Pantura tersebut. Mereka di antaranya telah banyak mencipta dan melantunkan lagu-lagu tarling yang ternyata banyak mengandung petuah, pepeling atau pesan moral.

Dalam setiap pagelaran sandiwara misalnya kita akan disuguhkan satu tarian namanya Serimpi. Tarian tersebut merupakan pembuka dalam sebuah pentas sandiwara yang juga akan membawa lakon. Setelah itu kita akan mendengar satu lagu dengan judul Kidung Kiser. Saya belum menemukan siapa pencipta kidung kiser yang jelas redaksi lain menyebutkan bahwa di Jogja/Magelang Mbah Maridjan sering menggunakan kidung Kacer sebagai penenang gunung yang sedang bergemuruh. Kidung Kacer bukan kidung tentang burung kicer melainkan diambil dari surah al Hasr ayat 21 dalam al Qur'an. Orang Jawa kesulitan berkata hasr maka jadinya kacer. Tapi perlu diketahui juga bahwa kidung kiser dan kacer sangat berbeda isinya. Catatan lain menyebutkan bahwa H. Abdul Adjib menamakan lagu-lagu diatonis dengan kiser (tembang) karena temponya dipercepat.

Ada satu lagu lagi yang menarik kita kupas yaitu dengan judul Ugal-ugalan. Lagu tersebut dipopulerkan oleh artis Pantura Sri Avista. Ternyata setelah saya coba selami lyrik lagu sederhana itu mengandung banyak sekali pelajaran di antaranya pesan bagi anak muda yang akan menikah atau mereka yang sudah berumah tangga.

//Lamun arep rumah tangga bebarengan
aja nganti awan bengi keluyuran
balik esuk cangkeme mambu inuman
alesane diajak batur melekan

//Pegat pisah sampenan entok talake
kula nerima bokat uwis kudune
balen maning angger kaya sing dingin
tetep bae gawe nyiksa ning batin

//Lara ati pengene sih bunuh diri
priwe keturunan kang di tinggal kari
ora tahan nyangga penderitaan
deleng sampean slalu ugal-ugalan
coba kang mari nginume lan ugal-ugalane
inget ning keturunan anake wis gede-gede

Lyrik lagu Ugal-ugalan tersebut memberi pesan bahwa pertama, jika kita masih memperturutkan ego diri maka tak akan mencapai kebahagiaan. Apalagi masih sering berbohong tentang hal-hal yang seharusnya dihindari seperti miras dan sering keluyuran malam. Ciri-ciri anak muda biasanya sering mengikuti keinginan diri sedangkan jika sudah berumah tangga seharusnya lebih paham bahwa ia punya tanggung jawab anak dan istri. Hak dan kewajiban harus diperhatikan dengan lebih dewasa.

Sejak dulu kebudayaan Pantura khususnya di pinggiran masih sering ditemukan orang-orang brandal alias yang suka dengan kehidupan jalanan. Era 60-70an misalnya tradisi nyawer masih sangat miris di mana dalam konteks kekinian disebut pelecehan seksual mudah terjadi. Termasuk peredaran miras yang tak kunjung usai bahkan hingga saat ini. Pada periode awal kepemimpinan Bupati Yance misalnya sekolah-sekolah di Indramayu berbenah salah satunya diberlakukan peraturan daerah untuk memakai seragam panjang alias menutup aurat dan memberikan pelajaran atau muatan moral agama lebih banyak. Tujuannya tak lain karena ingin menekan dekadensi moral yang kian hari meresahkan.

Kedua, bahwa perceraian bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah. Di sinilah saat berumah tangga perlu rekonsiliasi antar kedua pihak ketika ada masalah harus diselesaikan secara dewasa. Akan tetapi fakta di lapangan menyebutkan bahwa angka perceraian akibat beban ekonomi, kesalahpahaman dan diskriminasi masih terus saja terjadi. Data Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu bahwa setiap tahun ada sekitar 1000 kasus perceraian. Angka ini tergolong besar dan memang perlu dicarikan solusinya. 

Kasus tersebut bahkan terkesan banyak merugikan pihak perempuan. Karena salah satu faktornya ialah pernikahan di bawah umur dan akibat menjadi pekerja migran ke luar negeri, sedangkan pihak pria hanya di rumah saja. Dalam lagu ini lagi-lagi perempuan harus menjadi korbanya. Mereka selain menanggung derita juga menanggung stereotip dari lingkungannya. Maka dari itu lagu ini juga membawa pesan kepada siapun tanpa mengenal jender bahwa seharusnya istilah cerai jangan sampai dibuat mainan. Ketiga, khususnya kepada para lelaki untuk mampu menjaga pandanganya. Bagi perempuan pun harus mampu menjaga auratnya. Keduanya itu merupakan pesan agama. Andai saja agama menjadi pondasi seperti kisah dalam lagu ini tak akan terjadi.

Terakhir seseorang harus ingat bahwa anak adalah hal yang utama. Karena anaklah kita bersatu karena anaklah kita berpisah. Akan tetapi jika direnungi lebih jauh anak sebagai darah daging sendiri seharusnya menjadi pepeling agar kita sadar bahwa sejatinya hidup sedang diberi amanah oleh sang Kuasa. Maka sebisa mungkin harus dipegang erat pesan amanat Tuhan tersebut. Jika semua hal telah kita pahami maka layaklah kita untuk menjalin rumah tangga yang diidam-idamkan. Bahwa sesungguhnya sebelum mencapai mawaddah, warahmah kita harus mengupayakan dulu sakinah. Karena tanpa upaya yang kuat dari kedua belah pihak, sakinah tak akan tercapai.
#Budaya Tanana Sirna

the woks institute l rumah peradaban 11/12/20

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...