Langsung ke konten utama

TUNAS Gusdurian Bersemi Merawat Perbedaan


Woks

Secara formil saya memang belum tergabung dalam jaringan Gusdurian manapun akan tetapi secara persolan saya mengklaim adalah seorang yang belajar menjadi Gusdurian. Seorang yang bangga hati bisa menjadi santri dari pemikiran besar Gus Dur adalah kebahagiaan tersendiri. Pemikiran yang tentu perlu untuk dilanjutkan eksistensinya tersebut hanya bisa diteruskan lewat kaum muda. Begitulah yang saya rekam dari jaringan Gusdurian di usianya yang ke 10 tahun. Yang jelas usia itu masih terus konsisten merawat pemikiran Gus Dur sejak kewafatnya.

Tidak terasa pula kumpulan anak muda pecinta Gus Dur tersebut menyelenggarakan temu Nasional alias TUNAS. Walaupun di tengah pandemi pertemuan terbatas itu tidak terhalangi kecuali fisik sedangkan serangkaian acara telah dilewati dengan sukses. Sejak 7-16 Desember acara TUNAS 2020 dihelat dalam rangka menyongsong Haul Gus Dur yang ke-11. Acara yang bertema "Menggerakan Masyarakat Memperkuat Indonesia" tersebut tentu sangat penting sebagai sebuah ajang dialog dan terus memberi kontribusi bagi perkembangan sosio, budaya dan keagamaan yang ada di Indonesia.

Acara yang dibuka koordinator jaringan Gusdurian Nasional Alissa Wahid tersebut tentu tak lain karena dorongan keluarga, sahabat, aktivis dan semua pihak. Termasuk juga hadir beberapa tokoh seperti Dzawawi Imron, KH Husein Muhammad, Muhammad Sobary dan tokoh lintas agama. Harapan besarnya dari acara dua tahunan tersebut agar semakin banyak lagi orang yang tergerak hatinya dalam memperjuangkan kemanusiaan.

Terbukti di tahun ini TUNAS memberikan apresiasi kepada 3 kategori yaitu aktivis secara individu, komunitas dan lembaga. Apresiasi tersebut bertujuan agar para penggerak Gusdurian yang ada di manapun bisa terus bersemangat. Sebab perjuangan mewujudkan demokratisasi, keadilan, dan kesejahteraan masih teramat panjang. Kita terus bergandengan tangan agar semakin kokoh dan tak goyah.

Selama kurun waktu tersebut tentu para anggota merasakan manfaatnya dalam mengikuti jaringan ini karena kebersamaan dan saling support satu sama lain masih terjaga. Belum lagi candaan atau guyonan khas Gus Dur masih mengilhami komunikasi para aktivis. Hal itu tak lain agar spirit perjuangan tidak terasa kaku apalagi dipaksakan. Semua terasa dari hati ingin berbuat kebaikan demi Indonesia, demi kampung sendiri. 

Ikut dalam jaringan Gusdurian adalah keharusan sejarah. Gus Dur sudah meneladankan kini saatnya kita melanjutkan, begitu pesan Alissa Wahid.

the woks institute l rumah peradaban 27/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...