Langsung ke konten utama

Desa Sebagai Sarana Penyembuhan Jiwa


Woks

Anda mungkin pernah dengar ada warkop atas angin. Apakah warkop tersebut berada di atas angin? ternyata tidak, ia hanya nama saja. Warkop atas angin adalah nama sebuah warung yang menyediakan kopi, es, dan beberapa makanan ringan. Kebetulan tempatnya berada di atas ketinggian dengan pemandangan utamanya ialah persawahan dengan konsep terasering atau sengkedan. Warkop tersebut terletak di desa Banaran Kecamatan Kauman Tulungagung. Suasana yang sejuk dan pemandangan pegunungan hijau sangat cocok untuk tempat rehat sejenak dari penatnya kerja seharian di kota.

Di kota ruang terbuka hijau menjadi tempat langka sekaligus mahal. Artinya tempat dengan konsep nature dari alam tersebut memang sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang dari produksi polutan pabrik dan polusi asap kendaraan bermotor. Ruang hijau dengan ragam pepohonan memang sangat penting selain demi kelestarian lingkungan ia juga sebagai lawan tanding dari efek rumah kaca, pemanasan global.

Kita sejenak lewati warkop atas angin dan suramnya kondisi kota. Mari kita lihat potensi desa yang tersedia begitu banyak manfaatnya. Saat ini selain berjamuran UMKM yang tengah bergeliat potensi desa dengan konsep tourism village juga turut berbenah. Kita bisa saksikan desa Butuh Magelang Jawa tengah dikenal dengan Nepal van Java, Lembang Bandung, Dieng, Ijen, Bromo Tengger dan desa lainya. Desa-desa tersebut sedang naik daun karena banyak diburu para wisatawan. Konsep desa sebagai tujuan wisata ramah lingkungan memang banyak diburu wisatawan terutama saat pandemi seperti saat ini. Banyak orang jenuh dan pastinya ingin segera liburan. Nah, desa tersebut menjadi destinasi paling dicari.

Suasana alam yang asri dan kesejukanya memang menjadi pilihan ketimbang wisata buatan seperti museum, waterboom dan pusat perbelanjaan. Selain kearifan, desa juga menjadi sarana penyembuhan. Konsep forest bathing, ecotherapy healing terus dikembangkan terutama untuk program konservasi hutan, green torism, menyelamatkan satwa, tumbuhan dan mata air. Bagaimana cara desa menjadi tabib bagi setiap permasalahan tentu kita bisa mendengar suara alam, melihat pemandangan, menghirup udara segar, menikmati produk alam desa dan pastinya keramahan warganya. Hal itulah yang dapat menjadi obat dari kesumpekan kita sehari-hari. Bahkan menurut Dewa Gde Satrya desa Ubud di Bali berasal dari kata ubad/obat, hal itu diilhami untuk kesembuhan yang berasal dari suasana alam desa. Di sana juga kota tahu adat budaya lokal masih dipegang erat hingga kini.

Saat ini yang perlu kita lakukan adalah bagaimana menjaga kelestarian alam dan desa agar tetap menjadi penyangga kehidupan. Kita juga meyakini jika desa dikelola dengan baik tanpa eksploitasi ia akan menjadi pusat konservasi dan pastinya bernilai ekonomis sebagai wisata alami. Desa bisa menjadi ladang untuk mendatangkan pundi-pundi rupiah, akan tetapi perlu diingat untuk tidak terlena dengan hasilnya. Perlu juga penyeimbang dengan terus membuat program penyelamatan terhadap lingkungan. Sebelum desa menjadi kota kita harus segera memberi pemahaman kepada masyarakat betapa pentingnya keberadaan desa. Tanpa desa tidak hanya kota negara pun tak akan pernah ada. Bahkan penyair selalu menyenandungkan syair "aku lahir dan besar di desa, esok aku juga mati di sana". Gombloh juga bersenandung, lestari alamku lestari desaku di mana Tuhanku menitipkan aku.

Desa memang selalu menyimpan segudang pengalaman dan kenangan masa lalu. Saat kecil hingga saat ini kita selalu rindu untuk mudik ke kampung halaman. Melihat suasana alam yang sejuk dan menenangkan. Semoga saja kita senantiasa tak akan lupa bahwa desa tempat kita dilahirkan. Tempat di mana kita merajut asa dan cita-cita. Sebelum desa pongah di makan kota dan segala macam faham kita bangun desa dengan kearifan. Hidup dalam kedamaian dengan saling hormat, menghargai dan toleransi.

the woks institute l rumah peradaban 2/12/20



















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...